Sepucuk Surat Untuk Calon Suamiku
Seolah otakku ini terus bertanya-tanya dan mencoba
membuat logika yang tidak berkesudahan. Hal ini bisa dianalogikan seperti bus
yang lalu lalang sepi penumpang, ah maksudnya adalah berpikir ke sana ke mari
dan tidak mendapatkan sebuah jawaban apapun atas pertanyaanku. Kurang lebih
pertanyaannya begini “Bagaimana bisa aku mencintai secepat ini?” atau
sebaliknya “bagaimana bisa ia mencintaiku secepat ini?” that’s like a dream, bisik hatiku.
Semakin aku memikirkan pertanyaan itu semakin
pusinglah kepalaku, atau justru alih-alih aku bersuudzon dengannya bahwa
mungkin hanya berpura-pura mencintaiku, ah tapi mana mungkin—manaa mungkin
berpura-pura menuju ke pelaminan, hal itu tidak wajar—sangkal hatiku.
Untuk menina-bobokan perasaan tanyaku, mungkin akan
lebih baik jika pertanyaan ini dikembalikan kepada yang Maha Kuasa, yang jelas
ada banyak hal yang akan aku ceritakan tentang perasaan ini.
Entahlah, akan tetapi rasanya ini bukan diriku yang
tiba-tiba jatuh cinta—ah maksudku begini, aku sangat bahagia sekali saat duduk
di sampingnya, bahkan saat dengannya, sungguh aku tidak ingin jauh darinya, ini
terdengar sangat lucu, bahkan dirinya seperti menguasai diriku, kehadirannya membawa
kedamaian dalam diriku, seolah dengan sengaja memancing tawaku, senyumku, dan
suara lantangku yang tidak sedikit pun membuat ia merasa risih, justru ia bahagia
menyaksikan tawa lepasku yang sama sekali jauh dari kata anggun, termasuk dari
cara duduknya, aku tidak peduli dengan caraku itu, begitu pun dia.
AHH INTINYA AKU BAHAGIA DENGANNYA-Sungguh aku bahagia
sekali. Pernah suatu hari, aku bercermin dan membayangkan bahwa cermin itu
adalah dirimu. Aku ajak bicara engkau, aku lemparkan senyum manjaku, dan kau
pasti tau bukan, aku sangat malu saat benar-benar memandangmu—hahaha… rasanya
lucu sekali bukan.
Anehnya, aku yang sulit jatuh hati ini, semakin hari,
semakin banyak temu yang menyisakan rindu denganmu, hati ini semakin terikat
dengan hatimu. Parahnya, mataku ini selalu memandangi wajahmu, bukan hanya melalui
ponsel saja, tapi seolah wajahmu telah merasuki seluruh jiwaku dan luruh dalam
mataku.
Hai kekasihku, seandainya aku boleh berandai, sekarang
ini rasanya ingin sekali aku mencubit pipimu yang sama tirusnya denganku, tidak
tirus tampak tua, hanya sekedar tirus saja kok. Kemudian, ingin sekali aku
mencium hidungmu yang hampir sama mancungnya denganku, ah pikiranku, sudahlah.
Tampaknya sampai paragraf ini aku ingin menceritakan
sedikit tentangnya. Selain bola matamu yang berbinar berwarna coklat, kulitmu
yang kenyal dan lebih halus dari pada diriku—ya katamu kulitku tidak sehat,
kurang meminum air putih—tapi memang benar sih. Auramu terlihat bersih sekali, kau
adalah manusia yang selalu optimis dan mempercayakan urusanmu sepenuhnya dengan
Tuhanmu setelah kau berusaha, ah sungguh manis sekali lelaki yang romantis
dekat Tuhannya. Dan aku semakin mencintaimu, jika ingin ku ceritakan semua
hal-hal yang membuat aku semakin jatuh cinta, rasanya tidak mungkin. Aku takut
kau semakin iri pada kekasihku yang manis ini dan kau akan mencuri dariku—ah aku hanya
bercanda. Tidak bercandanya adalah perasaan ini untuknya, dan ingin sekali
bahagia selamanya bersamanya. Semoga Tuhan dan semesta merestui dan tanggung
jawab atas cinta yang tumbuh dalam diri kita, aku mencintaimu Mas.
Comments
Post a Comment