Rasanya jadi Guru Online “Bu, Ini Maksudnya Gimana?”
Suara jangkrik di belakang rumahku semakin malam berderik semakin kencang.
“Krik… krikk… krikk… “ kurang lebih begitulah
bunyinya. Aku dengan seksama menarik selimutku dan bersiap-siap ingin tidur
setelah menyelesaikan rutinitas seharian full
yang melelahkan. Aku membalikkan tubuhku ke arah yang berlawanan dari semula,
perlahan aku menutup mata sambil komat-kamit merapalkan do’a sebelum tidur
seperti yang aku ajarkan kepada siswa-siswi di sekolah sebelum adanya
pembelajaran daring alias dalam
jaringan, bukan dadar guling ya.
“Drett… drett… drett… “ ponsel di mejaku bergetar tiga kali
mengagetkan dan membuat mataku sontak melek. Tanganku pun bergegas langsung
meraih telepon genggamku “Pasti ini hal yang penting karena sampai tiga kali
bergetar” batinku.
“Bu, ini maksudnya gimana”?
“Bu, ini maksudnya gimana”?
“Bu, ini maksudnya gimana”?
kalimat tanya itu muncul di pop-up dan jelas ini dari salah satu siswa kelas enam muridku.
Aku menghela nafas, lalu sedikit ngedumel begini kira-kira
“Lha kok sekarang malah profesi saya itu bukan kayak guru tapi malah
kayak chat service, 24 jam begini”
Lha bagaimana saya tidak menggerutu, ini sudah jam 11
malam tapi masih ada chat siswa masuk.
Padahal harusnya siswa ini mengerjakan tadi pagi atau
mungkin siang hari, lalu mengirimnya paling terlambat jam sembilan malam, e lha dalah ini malah jam 11 malam baru bertanya.
Namun aku sebagai guru yang baik hati dan budiman (memuji diri sendiri---hehehe…)
aku tetap bersedia membalas pesan siswaku dan menjelaskan melalui voice note.
“Jadi Mas, sampean membuat dulu miniatur jam
dinding yang berbentuk lingkaran menggunakan kardus, nah kemudian sampean ukur diameternya menggunakan penggaris, kalau
penjelasan di grup kurang jelas bisa dilihat contohnya seperti pada link yang
Bu Eva bagikan”
NEXT
voice note
“kalau sampean sudah mengukurnya,
tulislah dalam buku catatan berapa diameternya, jari-jarinya, lalu
silahkan tulis rumus luas dan keliling lingkaran yang Bu Eva kirim melalui grup
WA, nah besok kita akan membahasnya kembali”
Begitulah kira-kira jawabanku dengan suara sedikit
lirih karena takut suaraku membangunkan ibu yang sedang tidur di ruang kamar
sebelahku. Nampaknya siswaku dengan sigap langsung membuka pesan suaraku, hal
ini dapat dibuktikan dengan adanya centang biru ditiap pesan suara yang aku
kirim setelah aku mengirimnya belum ada semenit. Kesalnya lagi, siswa itu tidak
membalas pesanku kembali, “wah ternyata tidak dibalas oleh siswaku hampir sama
sakitnya tidak dibalas oleh doiku hahaha” it
just kidding…
***
Mentari dari timur mulai
menyelinap melalui ruang ventilasi rumah, seolah menyapa hari mingguku yang
sibuk membersihkan rumah, dan kegiatan selanjutnya yang sudah menanti. rencana
hari ini aku akan menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran atau yang umum
disingkat menjadi RPP dan menurut aku sebuah kegiatan yang membosankan---ups… tapi sebagai guru yang profesional
maka sama dengan aku harus menyusun sesuai dengan perintah atasan, yaps tepatnya Dinas Pendidikan. Kali ini aku sibuk mempersiapkan RPP tema tiga
subtema satu yang sedang membahas tentang Penemu dan Penemuannya. Aku bersikeras
memikirkan bagaimana teknisnya supaya apa yang aku sampaikan besok bisa dipahami siswa. Aha… tiba-tiba aku teringat
metode yang diajarkan oleh ketua Yayasan saat pelaksanaan FGD (Forum Group Discussion). Metode yang ia
gunakan pada saat itu sangatlah menarik (anda bisa mencobanya), yaitu dengan
cara mengganti nama masing-masing siswa menjadi nama-nama malaikat beserta
perannya saat pelajaran agama. Jika lebih dari 10 siswa bagaimana? Ya sudah
tidak apa-apa double.
OK, langsung saja
aku akan menulis ke dalam layar laptopku. tanganku menulis dengan gerak yang
cepat tapi stabil dalam keyboardku.
Dalam RPP ini aku jelaskan bahwa pada bagian kegiatan pendahuluan adalah aku
akan mengganti semua nama siswaku menjadi nama penemu-penemu, dan setiap dari
mereka wajib menghafal mereka sebagai siapa dan menemukan apa sesuai yang aku
kehendaki sesuai dibuku tema. Lalu aku akan mengabsennya saat video call satu persatu dengan nama-nama penemu selama masih membahas
tema 3, dan siswa juga wajib menjawab nama yang ia bawa sebagai penemu apa. Aku
harap-harap cemas mereka tidak mengerti dengan metode ini, tapi dalam benakku
berpikir “kemungkinan akan berhasil, okay
be positive Eva”
***
Senin kembali, artinya aku
kembali. Entah kembali ke sekolah yang ia benar-benar berupa gedung sekolah
yang terdapat ruang-ruang kelas, dan juga kembali ke dalam ruang kelas yang ada
di dalam telepon genggamku yang hanya berukuran berapa inchi. Dalam hatiku yang labil berpikir bagaimana bisa ada
sebagian para ibu-ibu yang memiliki anak sekolah di luar sana mengeluh,
mengeluh, dan mengeluh mencemaskan pendidikan anakanya selama pembelajaran online dengan cara menjustifikasi gurunya
“Wah enak ya gurunya cuma
ngasih tugas, tugas, dan tugas”dengan muka seolah mengutuk guru anaknya
sebagian ibu-ibu mengumpat---hahaha bagian ini aku berlebihan menceritakan,
tepatnya bukan mengutuk, tapi mereka kesal karena pelajaran sekarang tidak
seperti dahulu kala (ya jelas to yo
Bu, dulu ke pasar pakai Kuda sekarang pakai Ninja) jadi para ibu-ibu tidak bisa
membantu mengerjakan, atau mungkin
enggan menyewa guru les yang membutuhkan biaya tambahan dan pertimbangan.
Sebagai guru yang labil aku
naik darah mendengar celoteh yang isunya menyangkut profesi guru selama pandemi
seolah dianggap sebelah mata, padahal kalau boleh aku katakan, Hmm… kondisi ini
sungguh mengerikan dan menguras tenaga (dan uang), kok begitu? Iya begitu
karena sebagian sekolah menuntut guru tetap
datang ke sekolah dari pagi sampai siang, dan dari satu hal itu saja sudah
banyak menyimpan cerita, “iya kalau jarak sekolah dan rumah dekat, butuh bensin
kan?” kalau yang sudah Pe En eS sih
okay saja, kalau yang honorer dan masih training
seperti saya ini, ya tombok buat beli
bensin—tapi ikhlas kok… tidak cukup sampai disitu, saat kembali pulang sekitar
jam 12, biasanya pada jam itu matahari sedang terik-teriknya, menyengat persis
diubun-ubun kepalaku kalau aku lupa mengenakan helm—OK, Skip bagian ini.
Naas, pada saat jam sekolah
ternyata siswaku sebagian besar tidak mengerjakan, mereka mungkin bermain-main
di rumah—entah, tapi aku memaklumi, karena alamiahnya anak-anak adalah bermain,
tapi aku berharap tidak sibuk bermain game
PUBG. Biasanya saat memasuki waktu
senja siswa-siswa mulai memadati pesan WhatsApp
ku. Entah mengirim tugas, bertanya, mengklarifikasi, intinya dengan berbagai
macam jenis pesan yang bahkan kadang menjengkelkan.
“Kok dari tadi jengkelan to?”, ya memang guru labil
kok, bagaimana sih?”
Itu adalah suara percakapan dalam sanubariku yang
mencemooh diri sendiri sebagai guru labil, padahal aku sudah mengatakan diawal
bahwa aku adalah guru yang teladan dan budiman. Nah, artinya aku sebagai guru
yang baik hati dan budiman harus siap melayani pesan yang bervariasi itu dari
siswaku, entah yang belum paham sehingga harus menjelaskan ulang dan juga mencari-cari
video di youtube—itu artinya saya membutuhkan kuota, sungguh malang, “kenapa
tidak tanya saat jam kerja saja, saat di sekolah ada wifi sih Nak” kali ini tidak aku batin, aku benar-benar mengucapkan
dan ngelus dodo.
***
Suatu hari, saat masa
training saya sebagai guru telah hampir habis, perlahan mulai memahami karakter
siswa, mencari-cari celah dan peluang yang tepat untuk menyampaikan materi
dengan sederhana dan mudah dipahami meski pun via online. Aku pikir di pandemi kalau corona saja bisa menyebar,
kenapa kebaikan tidak?—sumpah lebay, tapi ini memang benar. Aku coba memotivasi
diriku hingga pada suatu hari saat aku memahami betul-betul dari materi tema
tiga tentang biografi Thomas Alfa Edison sang ilmuan penemu bola lampu mengatakan
“I haven’t failed. I’ve just found 10.000 ways that won’t work”
(Aku tidak gagal, hanya saja
aku menemukan seribu cara yang tidak bekerja)
Betapa hebatnya Thomas,
selain memiliki jiwa optimis ia juga menghargai dirinya sendiri dengan cara
tidak mudah menyerah. Biografi beliau membawa saya ke gerbang istana keemasan
untuk tidak menjadi guru labil, atau mudah kesal saat cara-caranya tidak
berhasil pada sebagian siswa.
Terakhir, aku sangat percaya
bahwa dibalik wabah covid-19 ini tentunya membawa kebaikan yang mungkin tidak
pernah kita sangka, dan tidak selayaknya saling menyalahkan, namun seharusnya untuk
lebih saling bekerjasama dan optimis.
Eh ada bagian terakhir
kedua, jangan kalian tanyakan kenapa dalam proses pembelajaran tidak
menggunakan aplikasi classroom, zoom, dan semacamanya. Aku hanya berusaha
menyederhanakan caraku yang tepat dengan siswaku sesuai kemampuan yang ada. I love as teacher and I love you as my
students.
Karena malam semakin larut,
aku akan menjemput mimpiku yang sudah melambai-lambai.
“Drett… Drett… Drett… “
“Bu ini maksudnya gimana ya?”
Comments
Post a Comment