Tersesat di Dunia Lain Part 2
LANJUT YAA..
Buat kalian yang belum baca part 1 dimohon baca
terlebih dahulu, bukan promo juga sih, ya biar nyambung aja; nggak kayak
hubungan gue sama doi—eak.
Well, jadi gue dan temen-temen setelah melihat dua anak
kecil yang tidak berpakaian di tepi jalan itu masih terus melanjutkan
perjalanan. Dalam perjalanan tersebut kanan kirinya adalah hutan jati,
gobloknya gue dan teman-teman di sini nggak kepikiran ‘sejauh itu’, sejauh
itu I
mean ya masa ada anak-anak tidak berpakaian main ditengah hutan—kayak
mustahil banget nggak sih? Sorry gaya tulisan gue blepotan, gue aja kalau
mengingat-ingat masih kayak yang ‘uwu’ gitu, hahaha.
Kita terus melanjutkan perjalanan, anehnya sepanjang
perjalanan terasa sangat jauh dan tidak sampai-sampai pada jalanan yang ramai.
Pada akhirnya di tepi jalan kami menemukan sebuah bangunan tua, mungkin bisa
dibilang itu adalah bekas kantor dinas perhutani, kantor tersebut dikelilingi
banyak ilalang dan di bawah pohon besar, di depan kantor terdapat tanah kosong—saya
mengira dulu adalah sebuah parkiran, di sana terdapat ambulan kumuh, mungkin
sudah tidak terpakai pikir gue.
“Berhenti dulu yuk Bro,
capek” teriak Paijo dari arah belakang
motorku.
Akhirnya kita semua memutuskan untuk beristirahat di
depan kantor tersebut.
“Pasti ada orang ini sih,
fix” kataku
“Sok yes ah lu Hahaha”
celetuk salah satu temanku yang berdiri di depanku
Gue sih yakin banget pasti ada orang, soalnya di dalam
kantor terlihat jelas di atas meja ada gelas yang menunjukkan bekas kopi yang
baru saja diminum, juga ada TV di dalam
kantor tersbut menyala, menandakan bahwa ada aktivitas manusia di dalam kantor
ini. Dengan sangat percaya diri kami semua mengetuk-ngetuk pintu kantor
tersebut.
“Misi.. Tok
tok tokk..” gue dan temen-temen mengetuk secara bergantian dan berteriak
memanggil “Pak.. Pak…permisi”, kami berniat ingin bertanya arah jalan jikalau
si penjaga kantor tersebut keluar.
Lama tidak menjawab balasan dari dalam kantor, kami
coba menengok dari arah samping yang bisa terlihat semua kantor tersebut
(lumayan kecil) kami melongok dari jendela yang berada di dekat ambulan.
“ Anjir merinding” umpat dalam
hati. Gue nggak mau mengeluarkan kata sedikit pun karena gue menduga semua
orang sepertinya juga merinding. Dengan seksama kami kompak berjalan menuju
motor yang masih menyala dan bising lalu cabut. Aura di dekat ambulan kumuh
tersebut sangat kuat, dingin, dan mencekam. Sekilas ambulan itu berwarna putih
seperti pada umumnya namun sudah berdebu dan banyak rumah serangga di sela-sela
mobil tersebut. Dalam hati penuh was-was, gue dantujuh teman gue saling melotot
matanya. Hal ini sungguh janggal, tv menyala, ada bekas kopi yang baru saja
diseruput, tetapi tidak ada orang, kalau pun ada orang, itu sangat tidak
mungkin membiarkan rumput liar berdiri tegak setinggi itu dan tidak ada
kendaraan di sini kecuali ambulan kumuh yang mungkin mesinnya sudah habis dan reot dimakan
rayap.
Gue
dan temen-temen akhirnya melanjutkan perjalanan menuju waduk yang menjadi
tujuan utama. Saat itu rombongan gue
melintasi samping jembatan pembuangan air, di sana kita berhenti sejenak karena
merasa tidak sampai-sampai dan menemukan waduknya. Kami mulai memanfaatkan
kompas yang dibawa teman gue, naas saat
digunakan, kompas tersebut tidak bisa berfungsi—padahal dari rumah tidak
rusak…hzzzz…. Tidak cukup sampai disitu, akhirnya kami coba mengandalkan google
maps, Yasssh akhirnya ketemu juga. Wajah gue dan temen-temen riang banget, dan
tampak bersemangat akhirnya menemukan jalan juga—hufh…
“Jo maju Jo.. silahkan
depan” teriakku
“Baik Boss” jawabnya dengan
nada sok Yess…
Seperti perjalanan pada sebelumnya, gue dan rombongan
masih menyusuri jalan yang di kanan kirinya adalah pohon-pohon jati. Suasana di
sana waktu itu sangat mencekam, sudah sekitar pukul 11 malam lebih tapi belum
sampai juga.
“Woy berhenti berhenti…” teriak Paijo.
“dah sampai ya Bro?” tanya salah satu temen gue.
“Kalau di maps sih udah, di sini tempatnya” jawab
Paijo sambil celingukan menatap sekitarnya yang ternyata malah kuburan.
“Lu seriusan?” tanya gue
“Ya kali maps bohong Bro..”
“Udah yuk cari jalan lain”, teriak Bagas—di sini kita
semua mulai kebingungan dan sadar kalau banyak yang janggal, dan terheran-heran
kenapa sampainya malah di kuburan.
Sembari meneruskan perjalanan
untuk mencari jalan lain kami mendadak alim dengan terus merapal doa-doa
sehafalnya. Selama dalam perjalanan gue dan rombongan berasa sedang diuji. Selama
di perjalanan banyak kejanggalan yang kami alami, setiap jalanan yang gue alami
terasa bau aroma busuk yang menyengat, kadang berganti menjadi wangi, kadang
juga seperti ada bayang-bayang hitam di sekitar pohon yang terkena lampu motor.
Sanking takutnya gue melirik ke spion berkali-kali, bahkan sampai mendongak ke
belakang memastikan bahwa yang saya bonceng adalah Gendon—gue takut dan
membayangkan seperti pada film-film jika tiba-tiba saja saya memboncengkan mas poci
atau mbak kunti;amit-amit dah.
Comments
Post a Comment