Di Balik Selimut Kusut
Malam
itu aku menangis tersedu-sedu, aku tidak mengerti kenapa aku menangis, mungkin
sekitar berumur lima tahun, ahaa—benar lima tahun. Seseorang memasuki ruangan
kamar tempat tidurku dan saudara kecilku. Aku tidak mengerti kenapa ia merogohi
bajuku, lalu membuka kancingku perlahan demi perlahan, kemudian menyentuh
dadaku yang semestinya muncul puting jika aku sudah dewasa, lalu menelusuri
lebih ke bawah menyentuh vaginaku yang belum muncul rambut sedikit pun.
Aku menyembunyikan rapat-rapat wajahku dibalik selimutku dan berusaha menutupi dan melindungi seluruh tubuhku. Aku terlalu kecil dan mungil, selimutnya tersibak dan ditarik dengan lihai olehnya. Tangannya menggenggamku, menyodorkan sebuah penis untuk aku elus-elus perlahan. Aku sangat tidak mengerti apa itu ‘penis’ pada saat itu, yang jelas aku ketakutan sekali. Aku menangis sepelan mungkin dan terisak-isak supaya saudara disebelahku tidak mendengar. Dan ya benar, saudaraku tidur tenang disebelahku dan tampak sedikit mengorok seperti biasanya. Kakiku berusaha menendang-nendang dan memberikan tanda sebuah penolakan kepad lelaki yang menganggu tidurku. Naas, Ia tidak menggubris dan masih saja mencoba menggerayangi tubuhku yang masih suci.
Pada
saat itu mungkin aku membantah tentang sesuatu hal, kakak yang mudah naik pitam
memaki-maki aku, begitu banyak hujan makian dari kakak ditambah dari Bapak,
beberapa kali dengan masalah sepele aku ingin dibunuh dengan golok yang biasa
digunakan untuk kegiatan di sawah. Aku biasanya berlari keliling rumah dan
akhirnya berakhir ke dekapan Ibu untuk menghindari golok di tangan kanan kakaku.
Ibu selalu membelaku dengan seribu cara dan alasan, entah aku lupa, ia
menengahi. Karena sikap yang diambil Ibu, Ibu mendapat banyak serangan dari
bapak dan saudaraku. Suatu hari aku ingat saat saudaraku melempar sandal yang
teramat keras mengarah menuju kepalaku, atau terkadang bahkan ia menghantam-hantamkan
keras kepalaku ke tembok-tembok bata rumah yang baru dibangun. Aku sangat kuat,
ya sangat kuat, aku hanya menangis dan pusing kepala, tidak pernah sekali pun
mengeluarkan darah dari kepalaku.
Aku menyembunyikan rapat-rapat wajahku dibalik selimutku dan berusaha menutupi dan melindungi seluruh tubuhku. Aku terlalu kecil dan mungil, selimutnya tersibak dan ditarik dengan lihai olehnya. Tangannya menggenggamku, menyodorkan sebuah penis untuk aku elus-elus perlahan. Aku sangat tidak mengerti apa itu ‘penis’ pada saat itu, yang jelas aku ketakutan sekali. Aku menangis sepelan mungkin dan terisak-isak supaya saudara disebelahku tidak mendengar. Dan ya benar, saudaraku tidur tenang disebelahku dan tampak sedikit mengorok seperti biasanya. Kakiku berusaha menendang-nendang dan memberikan tanda sebuah penolakan kepad lelaki yang menganggu tidurku. Naas, Ia tidak menggubris dan masih saja mencoba menggerayangi tubuhku yang masih suci.
sumber google |
~~~
Keesokan
harinya hujan deras, aku berada di depan tungku bersama kakak-kakakku, mereka
memasak sesuatu, menggoreng tempe, ketela dan lain sebagainya. Ibu—ah ibu
terbaring di kamar dengan tubuh yang lemas, Bapak? Bapakku merokok di ruang
depan.
“Asu…
Celeng… “
Aku
kaget dan tertegun, hah—bukan hal yang baru lagi sebenarnya, aku mendengarnya
setiap saat—pagi, siang, dan malam. Itu pekerjaan bapakku;batinku dalam hati
kecilku. Aku mencari ruang yang aman supaya tidak tergampar oleh bapakku ketika
marah-marah begitu. Aku berlari-lari kecil dan amat hati-hati, kemudian duduk atau
tidur di samping ibuku yang terbaring. Hufh… Aku tidak sepenuhnya mengerti
kenapa ibu dan bapak selalu bertengkar setiap saat. Aku sedih, dan mataku
berkaca-kaca. Sedangkan bapak dan ibuku beradu mulut begitu hebat tidak usai.
~~~
“Pergi,
kembali ke rumahmu, perempuan tidak berguna” kata bapak dengan nada yang sangat
keras, keras sekali dan begitu banyak
umpatan yang bersaut-sautan dari mulut Bapak.
Aku
kadang mempertanyakan ‘apakah bapak tidak memiliki hati?’ batinku.
Aku
sembunyi dibalik selimut yang kusut dan hampir setahun tidak dicuci, kusut dan
sedikit berbau tidak enak. Aku tidak benar-benar duduk dan tidur di atas kasur,
aku meletakkan diri di atas tumpukan-tumpukan baju yang belum dilipat. Ibu
tidak sempat melipat, tangannya lemah, ia hanya berbaring di tempat tidurnya
dan meminum obat, dan beradu mulut
karena selalu disalahkan tentang segala hal dan diumpat tentang keburukan. Sedangkan
aku kurang mengerti dan malas bagaimana cara merapikan kamar dengan tumpukan
baju yang sangat banyak dan kusut.
~~~
Saat
di musim panas, pada siang hari saat mentari menyebarkan cahayanya dan membiakkan
suhu panasnya, tukang es datang dan
membunyikan klaksonnya tepat di halaman rumahku “tot… tot… tott… “
begitulah suaranya sampai berulang kali dan ramai dihampiri anak-anak. Aku
menatap es itu dari balik jendela yang setengah kayu dan setengah kaca karena
belum usai digarap. Lidahku menjilat-jilat ujung-ujung bibirku sembari
membayangkan lumatan-lumatan yang dibeli oleh teman-teman sebayakuku, aku takut
meminta bapak, dan aku tau ibu tidak memiliki uang—ia hanya memiliki berbagai
macam obat dan penyakit, serta harapan.
~~~
Memasuki
umur baligh, keadaanya masih
sama, aku masih sering mendapat pelecehan seksual—yang jelas bukan dari anggota
keluargaku, sekaligus perlakuan kasar. Ah.. ya waktu itu aku bertengkar hebat
dengan kakakku, aku lupa persis masalahnya atau sebabnya kenapa aku bertengkar
hebat, aku hanya selalu mengingat tentang hal-hal yang ku derita dan hal-hal kasar kepadaku “sambil meneteskan air mata
Lestari melanjutkan ceritanya”.
~~~
sumber google |
“Bukan
hanya itu saja” isak Lestari.
Aku
selalu lupa kenapa aku bertengkar, yang jelas itu sudah menjadi rutinitas
keluargaku. Bahkan saat aku mulai dewasa Bapakku selalu memberiku sumpah
serapah bahwa aku adalah ‘wanita jalang’ aha… itu jarang diucapkan, yang paling
sering adalah do’a tentang kematian, ia mendoakanku supaya mati tertabrak
mobil, yaa… tertabrak mobil dengan keadaan yang mengenaskan. Ha-ha-ha… aku geli
mengingatnya.
~~~
Aku
masih mendengarkan cerita Lestari dengan seksama, ia berhenti berucap sebentar
lalu mengambil tas dari tisunya untuk diusapkan di pipinya yang dibanjiri oleh
air mata.
Comments
Post a Comment