Di Balik Selimut Kusut

Malam itu aku menangis tersedu-sedu, aku tidak mengerti kenapa aku menangis, mungkin sekitar berumur lima tahun, ahaa—benar lima tahun. Seseorang memasuki ruangan kamar tempat tidurku dan saudara kecilku. Aku tidak mengerti kenapa ia merogohi bajuku, lalu membuka kancingku perlahan demi perlahan, kemudian menyentuh dadaku yang semestinya muncul puting jika aku sudah dewasa, lalu menelusuri lebih ke bawah menyentuh vaginaku yang belum muncul rambut sedikit pun. 
Aku menyembunyikan rapat-rapat wajahku dibalik selimutku dan berusaha menutupi dan melindungi seluruh tubuhku. Aku terlalu kecil dan mungil, selimutnya tersibak dan ditarik dengan lihai olehnya. Tangannya menggenggamku, menyodorkan sebuah penis untuk aku elus-elus perlahan. Aku sangat tidak mengerti apa itu ‘penis’ pada saat itu, yang jelas aku ketakutan sekali. Aku menangis sepelan mungkin dan terisak-isak supaya saudara disebelahku tidak mendengar. Dan ya benar, saudaraku tidur tenang disebelahku dan tampak sedikit mengorok seperti biasanya. Kakiku berusaha menendang-nendang dan memberikan tanda sebuah penolakan kepad lelaki yang menganggu tidurku. Naas, Ia tidak menggubris dan masih saja mencoba menggerayangi tubuhku yang masih suci.
sumber google

~~~
Keesokan harinya hujan deras, aku berada di depan tungku bersama kakak-kakakku, mereka memasak sesuatu, menggoreng tempe, ketela dan lain sebagainya. Ibu—ah ibu terbaring di kamar dengan tubuh yang lemas, Bapak? Bapakku merokok di ruang depan.
“Asu… Celeng… “
Aku kaget dan tertegun, hah—bukan hal yang baru lagi sebenarnya, aku mendengarnya setiap saat—pagi, siang, dan malam. Itu pekerjaan bapakku;batinku dalam hati kecilku. Aku mencari ruang yang aman supaya tidak tergampar oleh bapakku ketika marah-marah begitu. Aku berlari-lari kecil dan amat hati-hati, kemudian duduk atau tidur di samping ibuku yang terbaring. Hufh… Aku tidak sepenuhnya mengerti kenapa ibu dan bapak selalu bertengkar setiap saat. Aku sedih, dan mataku berkaca-kaca. Sedangkan bapak dan ibuku beradu mulut begitu hebat tidak usai.
~~~
“Pergi, kembali ke rumahmu, perempuan tidak berguna” kata bapak dengan nada yang sangat keras, keras sekali  dan begitu banyak umpatan yang bersaut-sautan dari mulut Bapak.
Aku kadang mempertanyakan ‘apakah bapak tidak memiliki hati?’ batinku.
Aku sembunyi dibalik selimut yang kusut dan hampir setahun tidak dicuci, kusut dan sedikit berbau tidak enak. Aku tidak benar-benar duduk dan tidur di atas kasur, aku meletakkan diri di atas tumpukan-tumpukan baju yang belum dilipat. Ibu tidak sempat melipat, tangannya lemah, ia hanya berbaring di tempat tidurnya dan meminum obat,  dan beradu mulut karena selalu disalahkan tentang segala hal dan diumpat tentang keburukan. Sedangkan aku kurang mengerti dan malas bagaimana cara merapikan kamar dengan tumpukan baju yang sangat banyak dan kusut.
~~~
Saat di musim panas, pada siang hari saat mentari menyebarkan cahayanya dan membiakkan suhu panasnya, tukang es datang dan  membunyikan klaksonnya tepat di halaman rumahku “tot… tot… tott… “ begitulah suaranya sampai berulang kali dan ramai dihampiri anak-anak. Aku menatap es itu dari balik jendela yang setengah kayu dan setengah kaca karena belum usai digarap. Lidahku menjilat-jilat ujung-ujung bibirku sembari membayangkan lumatan-lumatan yang dibeli oleh teman-teman sebayakuku, aku takut meminta bapak, dan aku tau ibu tidak memiliki uang—ia hanya memiliki berbagai macam obat dan penyakit, serta harapan.
~~~
Memasuki umur baligh,  keadaanya masih sama, aku masih sering mendapat pelecehan seksual—yang jelas bukan dari anggota keluargaku, sekaligus perlakuan kasar. Ah.. ya waktu itu aku bertengkar hebat dengan kakakku, aku lupa persis masalahnya atau sebabnya kenapa aku bertengkar hebat, aku hanya selalu mengingat tentang hal-hal yang ku derita dan hal-hal  kasar kepadaku “sambil meneteskan air mata Lestari melanjutkan ceritanya”.
~~~
sumber google
Pada saat itu mungkin aku membantah tentang sesuatu hal, kakak yang mudah naik pitam memaki-maki aku, begitu banyak hujan makian dari kakak ditambah dari Bapak, beberapa kali dengan masalah sepele aku ingin dibunuh dengan golok yang biasa digunakan untuk kegiatan di sawah. Aku biasanya berlari keliling rumah dan akhirnya berakhir ke dekapan Ibu untuk menghindari golok di tangan kanan kakaku. Ibu selalu membelaku dengan seribu cara dan alasan, entah aku lupa, ia menengahi. Karena sikap yang diambil Ibu, Ibu mendapat banyak serangan dari bapak dan saudaraku. Suatu hari aku ingat saat saudaraku melempar sandal yang teramat keras mengarah menuju kepalaku, atau terkadang bahkan ia menghantam-hantamkan keras kepalaku ke tembok-tembok bata rumah yang baru dibangun. Aku sangat kuat, ya sangat kuat, aku hanya menangis dan pusing kepala, tidak pernah sekali pun mengeluarkan darah dari kepalaku.  
“Bukan hanya itu saja”  isak Lestari.
Aku selalu lupa kenapa aku bertengkar, yang jelas itu sudah menjadi rutinitas keluargaku. Bahkan saat aku mulai dewasa Bapakku selalu memberiku sumpah serapah bahwa aku adalah ‘wanita jalang’ aha… itu jarang diucapkan, yang paling sering adalah do’a tentang kematian, ia mendoakanku supaya mati tertabrak mobil, yaa… tertabrak mobil dengan keadaan yang mengenaskan. Ha-ha-ha… aku geli mengingatnya.
~~~

Aku masih mendengarkan cerita Lestari dengan seksama, ia berhenti berucap sebentar lalu mengambil tas dari tisunya untuk diusapkan di pipinya yang dibanjiri oleh air mata.

Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang