Peran dan Beranda Imajinasi


Gambar diambil saat pameran Bienalle di Yogyakarta

Aku keluarkan semua dari saku dadaku, aku jinjing dan aku tawarkan ke semua orang, aku jual perbiji dengan harga yang sangat murah, tapi cinta itu tetap tidak laku, dan kembali ku masukkan cinta-cinta itu ke dalam saku dadaku—mengepul dan menyesakkan dada. Kemudian cinta itu berubah menjadi luka, kasusnya seperti es batu yang mencair, berubah dari sifat padat menjadi cair, dan berubahlah cinta ini menjadi luka.
***
Aku mngarang cerita dalam imajinasiku, dalam ceritaku kamu begitu antagonis;dan sebaliknya, aku menjadi sangat protagonis. Aku kau racuni setiap hari dengan banyak hal yang mengandung toksin, aku begitu buta—aku pikir semua adalah sesuatu hal yang manis, kau begitu pandai meraciknya, membungkus dengan sangat hati-hati dan penuh kewaspadaan dengan bungkus cinta. Ha—ha—ha .. aku tertawa terpingkal-pingkal, setelah kau racuni begitu banyak dengan cinta aku semakin banyak tertawa. Tenang saja, orang yang mengenalku tidak akan pernah menyebut aku gila; tentu saja, hanya aku yang dapat mendengar suara tawaku, kamu pun begitu tuli dan angkuh tidak mau mendengar.

***
Aku akan mengutipkan sebuah penggalan puisi dari Octavia Paz, puisi ini hampir saja membunuhku, maknanya terlalu tajam, mengiris jiwa dan perasaan yang dalam diriku.

Pada senja yang terbuat dari batu dan sendawa,
Disenjatai pisau-pisau tak terlihat kau menulis
Dalam skrip merah yang terbaca atas kulitku,
Dan luka menutupiku penaka baju api,
Aku terbakar tanpa akhir, aku mencari air,
Tak ada air di sepasang matamu, mereka terbuat dari batu,

Laksana membaca puisi di atas, hatiku teriris, miris, dan nyaris tertikam dalam mulutku yang meringis dan menangis;menahan sendu yang kian lama memburu nyawaku. Kalau-kalau jiwaku tidak meninggalkan sebiji iman, maka raga ini sudah pasti tidak dapat berdiri, tidak dapat mengenyangkan perut dengan sepiring nasi—karna tentunya raga ini akan mati ditinggal nyawanya, seperti hati yang mati ditinggal kekasihnya.
   
***
   Umpama kemegahan istana, peranku hanyalah pembantu, sewaktu-waktu dapat ditendang oleh majikannya; dan majikan dalam hidupku adalah jiwaku, jiwa yang sudah menguasai raga dan seisinya. Tubuhku menjadi lemas untuk mengingatnya. Aku tutup rapat-rapat jendela, tirai-tirai yang menahan cahaya mentari siang menembus melalui kaca jendela. Aku akhiri sebuah imajinasiku yang berperan menjadi protagonis, aku menginginkan akulah sang anatagonis, tapi aku tidak akan menjadikanmu budak dalam kisahku, aku ingin satu hal saja, jadilah pendampingku, sekarang, bukan nanti, besok, atau menunggu kamu menjadi hartawan dan berubah menjadi antagonis kembali seperti imajinasi pertama yang aku karang.
    
***
    Saat semua jendela dan tirai sudah tertutup, aku  menata bantal gulingku, aku tidak bermaksud menidurkan tubuhku, yang lelah adalah jiwaku. Aku letakan jiwa ini di atas kasur, aku menyuruh jiwaku memeluk guling, membenarkan bantalnya yang sedikit miring, dan tidurlah yang nyenyak tanpa harus menunggu malam.

Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang