Salehakah aku? Tanya Seorang Pelacur


 FUCK!!, lelaki itu pergi begitu saja tanpa membayar sisa kekurangannya padaku”
“Besok aku nggak sudi lagi melayani lelaki miskin sepertinya, mana lemah banget” umpat Diana dengan keadaan setengah mabuk  dan setengah telanjang.

Diana baru saja kembali dari club, ia masih memakai sepatu highhils setinggi 17cm dan pakaian yang sangat sexi. Sesegera  ia menjatuhkan tubuh sexinya ke Kasur busa apartemennya yang mewah dan melemparkan sepatunya begitu saja. Tiba-tiba ia  menangis tersedu-sedu, beberapa menit  kemudian ia tertawa, lalu ia menyatakan bahwa dirinya telah gila. Diana atau yang nama aslinya Anna selalu tidak mengerti dengan keadaannya sendiri. Ia selalu tertawa terbahak-bahak sampai menjelang pagi bersama kawan-kawannya atau terkadang dengan pelanggannya—yang baik di club, kemudian sesampai di apartemen ia akan mengumpat-umpat atas apa yang telah terjadi, menangis sejadi-jadinya, dan tidur pulas karena ketidak mengertiannya tepat seusai ia berdoa untuk orangtuanya—namun untuk menidurkan dirinya sendiri ia biasanya harus meminum obat tidur, hal itu lain cerita dengan kelincahan Diana saat menidurkan para pelangganya. Setiap pelanggannya akan tertidur lelap dipelukan Diana, atau diantara kedua payudara Diana.

Diana adalah seorang pelacur yang setia terhadap do’a-do’anya yang ia panjatkan ditengah keramaian music remix dan dj. Di setiap alunan musik yang keras memenuhi ruangan ia mendoakan ibunya yang telah meninggal karena kanker payudara, kemudian mendoakan ayahnya, sebelum akhirnya ia khusyuk mendoakan mereka kembali sebelum tertidur pulas. Saat berumur tiga tahun Diana ditinggal pergi oleh ayahnya yang akan bekerja merantau di ibu kota—katanya , namun sayang sesampai Diana berumur 18tahun pun ayahnya tidak pernah kembali.

“Nduk, jangan lupa selalu doakan ibumu dikuburan, doakan  bapakmu yang sedang cari        uang” itu adalah ucapan neneknya yang selalu terngiang-ngiang ditelinga, dan itu juga pesan yang sampai sekarang masih terjaga—sedangkan pesan-pesan  yang lain tidak terhiraukan.
“nduk, dadio bocah sing soleha, ojo neko-neko” dan masih banyak pesan lainnya.
“seperti apa wanita soleha itu?”
“apakah mendoakan kedua orangtua belum cukup untuk menjadi soleha?” tanyanya dalam lubuk hati Diana yang terdalam.
“apakah tidak memakan uang rakyat sepeserpun belum cukup disebut soleha?” tanyanya lagi.
***

Saat selesai tamat SMP Diana memilih bekerja menjadi IRT untuk membantu biaya kehidupan neneknya, sayangnya saat bekerja belum genap sebulan ia difitnah mencuri oleh pembantu lainnya, sehingga ia terpaksa dipecat oleh majikannya. Diana tidak memiliki keahlian apapun, tidak memiliki modal untuk usaha—untuk keseharian saja ia mengandalkan neneknya yang buruh cuci. Singkat cerita ia berkenalan dengan salah seorang mucikari, ia memiliki asset yang bagus kata Mak Jede si mucikari kelas kakap itu. “Dada Diana montok—ranum, kenyal, dan  bokongnya sebesar buah semangka, kulitnya dipoles sedikit sudah kinclong” itulah yang diucapkan Mak Jede saat membujuk Diana  menjadi pelacur.

Keprawanannya dibayar sangat mahal—setara dengan satu apartemen mewah, hingga  sampai tiga tahun terakhir ini ia memiliki apartemen mewah dan beberapa sertifikasi tanah, setiap malam ia harus melayani dua atau tiga hidung belang yang sudah janjian dengan Mak Jede. Mata Diana terkantuk-kantuk sekaligus menahan perih dimulut vaginanya saat bercinta, tepatnya saat diperkosa—terutama saat bagian pelanggan ketiga pada setiap malamnya.

“bagaimana Diana, enak?”
“Enak gundulmu” jawab Diana yang hanya mengendap  dibatinnya, sama sekali ucapan itu tidak dapat keluar dari mulutnya. Yang merona dengan lipstick kemerahan tua
Ia memahami betul bahwa yang dilakukan adalah sebuah kekeliruan—membiarkan diperkosa adalah sebuah kekeliruan, ia pasrah—ia  juga selalu berharap menjadi wanita saleha. Diana selalu berdoa untuk orang tuanya, akhir-akhir ini ada perasaan yang aneh, ia amat sangat ingin bertemu dengan bapaknya. Ia mengingat persis bahwa bapaknya sangat cakap dan memiliki postur yang tegap dengan kulit yang putih. Pernah suatu waktu ia mendapati pelanggan yang mirip dengan bapaknya—posturnya, kulitnya, bahkan tahi lalat dipunggungnya. Diana terkaget-kaget dan spontan menanyakan dengan nada tinggi, namun sayangnya spontanitas itu adalah sebuah kesalahan, bahkan malah pada akhirnya melukai dirinya sendiri.
         “Plakk…! Kau ini siapa?”  mengaku-ngaku  anakku”
          “Aku tidak memiliki anak  perempuan pelacur  sepertimu, menjijikan—juihh … “  bentaknya disertai tangan kanan yang melayang dipipi Diana, namun meski dianggap menjijikkan, lelaki itu tetap membuka celananya, menyentuh setiap sudut tubuh Diana. Diana tetap pasrah menyajikan tubuhnya yang sudah dipesan.           

    Kemudian ia merapikan kehancuran hatinya dengan berpura-pura mendesah manja—dengan itu menjadikan rating Mak Jede tinggi dan menarik banyak pelanggan, dan artinya ia juga mendapat uang;alias memiliki kehidupan. Dalam hatinya ia bertanya lagi “apakah aku belum saleha? Aku mendoakan kebaikan selalu untuk  orangtuaku? Apakah aku tidak pantas menjadi seorang anak dari seorang bapak?” pertanyaan itu tidak dapat memantul keluar dari mulutnya, rasanya tenggorokan  itu dipenuhi kotoran yang mematahkan pita suaranya. Diana hanya meringis—merintih,sebuah rintih yang menyakitkan, lelaki itu terus meluapkan birahi dalam seluruh tubuhnya, sesekali meniup telinganya, menciumi punggungnya bahkan bokongnya. Diana menyeka kesedihan hatinya dengan kepasrahan. ia menganggap dirinya adalah pelacur yang saleha, dalam diri yang saleha dan  keimanannya ia  memasrahkan segala tubuhnya setiap malam kepada Tuhan.

***
         Di tahun ini genap sudah Diana  empat tahun menjadi seorang pelacur. Ia memilih berhenti bekerjasama dengan Mak Jede, ia juga siap dengan segala konskuensinya. Ia  kembali pulang ke asalnya untuk mengurus neneknya yang sepertinya sudah mendekati ajal—nafasnya kembang kempis dan sudah tidak sanggup lagi menjaga keseimbangannya. Diana meneruskan pekerjaan lama neneknya, ia menjadi buruh cuci dengan mesin yang dibeli saat ia masih menjadi pelacur—semua kemewahannya dirampas Mak Jede dan untuk berobat neneknya, ia menjadi sangat miskin kembali, namun  ia juga menjadi lebih bahagia karena setiap malamnya tidak adalagi sebuah kepasrahan—yang ada tinggallah kesalehan sikap menjaga neneknya.

   Suatu ketika saat Diana terbangun dari tidurnya, ia mendapati neneknya sudah tiada, nafasnya menghilang, dan raganya tidak dapat bergerak kembali. Berkibarlah bendera putih di beranda rumahnya yang mengundang orang-orang berbondong-bondong melayat—termasuk bapaknya yang sudah  15 tahun tidak pernah  pulang. Tanpa kata, isyarat, dan sambutan yang lain Diana pingsan selama beberapa hari setelah ia mengetahui bapaknya adalah pelanggannya yang menampar pipinya saat ia menjadi pelacur di ibu kota.


Comments

  1. I love it, this story reminds me about muhidin m. dahlan's novel, btw im so happy can read it :).

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang