Burung Kematian

    Mr. Sams nampaknya teramat letih, malam itu ia membiarkan jasnya tetap dalam balutan tubuhnya. Tidurnya sedikit gelisah, hal itu bisa disaksikan dari gestur tubuhnya. Sebentar-sebentar membalikkan badan ke kanan, lalu ke kiri sehingga istrinya terbangun. Mrs. Sams sesekali mengecup keningnya, ia pikir dengan begitu akan membuat suaminya merasakan tidur nyenyak.  Sementara Mrs Sams mendengar di luar terdapat nyanyian nyaring burung kematian, orang-orang mengutuk keberadaan burung itu dan menghakiminya bahwa burung itu membawa kabar kematian. Mengingat mitos tersebut istrinya memeluk erat suaminya, namun  Mr. Sams tidak menggubris, bahkan ia nyaris tidak nyaman dan tidak ingin tau menau tentang mitos burung kematian. Mr. Sams tetap melanjutkan tidurnya tanpa membalas pelukan Mrs. Sams, bahkan ia menatapnya sedikit aneh dengan pesan sorotan sadis.

     Dikeesokan harinya suara burung kematian itu telah lenyap, matahari dari ujung timur sudah menampakkan wujudnya, ah maksudnya memaparkan cahayanya yang perlahan menembus celah-celah jendela. Mrs. Sams seperti hari-hari biasanya ia menyiapkan sepasang roti dengan selai ditengahnya dan segelas susu “makanlah terlebih dahulu” katanya.  Mr. Sams nampak terburu-buru, seperti biasa ia memakai jas hitam kesayangannya dan sepatu yang warnanya mulai sedikit  pudar.  Ia bergegas menghampiri pintu depan dan mengucapkan kalimat yang monoton “aku berangkat dahulu”. Kata itu selalu keluar dari bibirnya yang menurut istrinya lumayan seksi. Istrinya melepas kepergiannya dengan senyuman, senyuman yang tak pernah lusuh dan sirna disepanjang  pagi dan sore ketika suaminya pulang. 


   Mrs. Sams sangat sederhana, dalam sejarah perkawinannya ia adalah seorang istri yang menawan dan tidak bertingkah, dihiasi parasnya yang secantik ratu Elizabeth  Inggris, hidungnya mancung, berkulit putih dan matanya indah bagai bulan purnama, sayangnya matanya terbingkai sorotan kesunyian. Meski begitu keanggunan dalam menyambut dan melepas suaminya tak pernah lekang sepanjang waktu. Ia bahkan tak peduli dengan perasaannya sendiri. Ia pernah berkata jujur pada hatinya ‘Aku kesepian  Mr. Sams”. Sayangnya suara itu tidak sampai keluar dari perasaanya, tidak pernah terdengar ditelinga suaminya, dan mengendap terus menerus mungkin hingga ia sekarat digerogoti perasaan sepinya. 


     Fisik mungil Mrs. Sams tak pernah letih membereskan rumah berukuran Panjang 10 meter dengan lebar 7 meter itu.  Ia bahkan bekerja semakin keras setiap harinya. Bekerja untuk hatinya yang kesepian dan tidak pernah tersurat dan tidak terucapkan. Senyum murninya seolah-olah suci yang dibawa sejak  dirinya dilahirkan di dunia. Saat ia membersihkan tepi-tepi jendela yang mulai usang dan kumuh, ia menyapa burung-burung di luar yang berterbangan dipepohonan, namun bukan burung-burung kematian. Seperti biasa Mrs. Sams memberikan ketulusan senyum pada burung-burung itu. Senyum ketulusan yang menyimpan lembar kehampaan.


  Suatu hari yang mendung Mr. Sams dalam keadaan sedikit tidak beres, ia mengungkit-ungkit kehidupan istrinya yang malang, katanya Mrs. Sams hanyalah wanita yang paling beruntung karena ia nikahi. Kalau tidak, Mrs. Sams hanyalah wanita yang sangat kesepian nan memilukan. Mrs. Sams terlahir dari wanita rapuh yang setelah melahirkan bayi dengan senyuman suci itu;kemudian wanita rapuh itu mati, dan bapaknya adalah seorang orang alim setengah pastur yang pandai berceramah di gereja-gereja jalanan. Bapaknya sama sekali tidak peduli dengan Mrs. Sams pembawa senyuman suci. Setelah dua hari anaknya dinikahi Mr. Sams bapaknya pun lalu sekarat karena menderita penyakit radang tenggorokan.


    Mrs. Sams yang dulunya bernama Haley tidak pernah terpikir kehidupan pahit yang membelukar sekaligus mengakar dalam palung jiawanya. Mrs. Sams berpikir sesuatu, dalam kehidupannya ia hanya memiliki suaminya yang sedikit kasar dan acuh, meski begitu ia menyayanginya. Bahkan semenjak malam burung kematian itu mengeluarkan suaranya, Mrs. Sams menjadi was-was, ia takut kalau-kalau mitos yang subur ratusan tahun itu benar. Ia mengingat seminggu sebelum kematian bapaknya, persis jam delapan malam ia mendengar burung kematian bersuara nyaring di pohon leci sebelah rumah. Mrs. Sams tidak mau kehilangan suaminya, setiap hari ia memberikan senyum sucinya, melayani sepenuh hati, menyambut dan melepas dengan hati yang ikhlas. 


     Saat Senja tiba, kira-kira saat rembulan warna putih lambang kesucian itu menampakkan dirinya sejengkal, Mr. Sams mengetuk-ngetuk  pintu rumah bagian depan. Barangkali ia memanggil-manggil Mrs. Sams alias Haley dengan sangat lantang. Setelah lima menit ketukan pintu itu tetap tidak terjawab. Suasananya sangat hening, angin di luar terasa lebih sakral dan berhembus perlahan membelai Mr. Sams.  Sementara Mrs. Sams berdiam diri di dalam, bukan ia tidak mau membuka kunci pintu depan,  ia benar-benar sudah berusaha, tapi Tuhan berkehendak lain, Tuhan tidak memberi kuasa lagi. Tubuhnya tergeletak lemas di ambang pintu dapur dengan wajah tersenyum  bibir membentang membentuk bulan sabit yang sempurna, sementara jiawanya persis berada di depan pintu menyambut suaminya dengan senyuman suci, namun sayangnya suaminya tidak peduli, ah tepatnya tidak melihat ruhnya.

Comments

  1. Kalo boleh tau, siapa penulis yang mempengaruhi gaya kepenulisanmu??

    ReplyDelete
  2. Kalau aku sih sukanya genre Ahmad Tohari sejauh ini. Cuman kdg emg kalau style penulisanya kdg poplit kdg enggak, tp over all lbh suka yg nuansa balada, plot twist, sama berbau mitos.

    ReplyDelete
  3. Wah, saya juga suka tuh yg plottwist. AS Laksana sejauh ini masih terbaik, menurut saya, dalam hal plottwist.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang