FUC*ING YEAH
“Ah
tolol,” kata Sipon. Sipon berjalan tak tentu arah sambil
menendang-nendang kerikil yang ia temui. Bahkan ia sepertinya lupa
kalau sepatunya mulai ‘mangap’ minta lem biru, ah barangkali merah.
“Shit,
Anjing” berkali-kali Sipon melontarkan kegelisahannya.
“Kau
pikir kau siapa?”
Sipon bertanya-tanya, lalu sebentar-sebentar tertawa. “Aku beli jabatanmu, berapa? Ha? atau aku beli emakmu yang bekas DPR supaya kau terlihat seperti anjing yang najis di mata orang alim, Jawab? Jawab?”
Sipon bertanya-tanya, lalu sebentar-sebentar tertawa. “Aku beli jabatanmu, berapa? Ha? atau aku beli emakmu yang bekas DPR supaya kau terlihat seperti anjing yang najis di mata orang alim, Jawab? Jawab?”
Sipon jalannya semakin sempoyongan, bukan karena mabok anggur merah, atau whisky.
Hanya saja ia dimabokkan dengan
orang-orang disekitarnya dahulu. Sumpah serapahnya
terus keluar dari mulutnya. Bagi orang lain yang melihatnya
itu ‘aneh’ tapi baginya ia puas, ia puas mengeluarkan apa yang perlu
dikeluarkan, semacam ‘tai yang lama mengendap di dubur akhirnya keluar ’. Hahahaha. Dasar Sipon !
"Jangan
menatapku aneh Njing” Sipon membentak anak SMA yang
berpapasan dengannya.
Nampaknya
anak itu mengira bahwa Sipon orang gila yang baru keluar dari RSJ, Sipon sedikit
kumal dan rambutnya acak tak tertata.
Aku
adalah seorang psikopat
Psikopat
dalam puisiku sendiri
Yang
siap mencabik-cabik mulutmu yang bisu
Matamu
yang semakin membuta
Telingamu
yang makin hari tuli
Sikapmu
yang berlagak ningrat
Kakimu
yang berlenggak-lenggok seperti pantat seximu
Aku,
aku adalah psikopat dalam puisiku
Yang
siap menhancurkan segala kerasmu
Dan
menghakimi sifat tolol-mu.
“Hei
Sipon?”
setelah aku dekati ia malah nampak kebingungan
setelah aku dekati ia malah nampak kebingungan
Ia
garuk-garuk kepala “Anu”… “Anu”..
Sipon,
Sipon
memberiku sepucuk surat, entah kapan dan di mana ia menulisnya, setelah itu meneruskan
langkahnya.
“Bangsat”..
Dalam
kata pertama larik pertama saja aku
sudah mulai dag-dig-dug membacanya.
“Bangsat,
ahhaaha… jangan mengerutkan dahi begitu kawan, kau terlihat jelek dan menua
kalau begitu, tersenyumlah, aku jamin
kata berikutnya lebih sopan, dengarkan, dan resapi”
Aku
membacanya dengan seksama dan membayangkan wajah Sipon yang lugu seolah sedang berada
tepat di depanku—menggemaskan candanya.
“Kau lihat kerubungan manusia disekitarmu, senyumnya manis, tapi diam-diam melirik sadis. Ah, belum seberapa, faktanya kawan, kau.. aha ha ha.. “
Aku
kurang mengerti isi surat dari Sipon ini. Bahkan setiap diksinya terlihat serius
tak serius karena ia banyak tertawa dalam tulisannya.
“
Saat kau terlihat sedikit cerdas, ia akan iri padamu, namun saat kau di bawah
ia akan tertawa keras, menginjak-injak dengan kaki arogannya dan berkata ‘Sabar
cintaku” bulshit kawan, ha ha ha… saat kau memiliki sebiji kurma, ia akan
memberimu nasi dengan rasa iba, selanjutnya dibelakangmu, ah kawan kau tentu
tidak tau kan? Namun saat kau memiliki lebih sepiring nasi, uhm.. ia akan
menjauhi darimu, membuat seolah-olah ia yang paling berkuasa dan menjadi orang
yang berpengaruh untuk orang lain agar saling
membencimu, naas sekali menjadi manusia,
Kau, kau adalah kawanku, sepucuk surat ini aku
siapkan manis untuk kau mengerti, aku tau engkau kawan—ahh… jangan GR, tapi aku
tau engkau kesepian, lingkungan ramaimu adalah penyebab kesepianmu. Mereka tidak
tulus padamu—aku sungguh iba kawan, awalnya kau akan menjadikan setiap yang kau
kenal adalah kawanmu—tulus seperti aku, tapi kau salah kawan, dan harapanmu
sendiri yang mematahkan harapan itu. “
Bagaimana
bisa Sipon… ah aku akan melanjutkan memabaca.
“Bahkan
kawan, aku sangat memahami engkau, kau tidak suka dengan nada kasar dan keraskan?
Apalagi nada yang sedikit mengejekmu? Kau sudah cukup dewasa, manusia jenis itu
banyak, berlakulah seolah-olah tuli, tutup matamu saat ia menatapmu, dan
berikap biasa saja jangan banyak mengharap apalagi merepotkannya. Saat kau merepotkannya, Kau akan
terlihat sangat miskin di mata-nya, kau tau kau anak siapa? Dan mereka semua
siapa? Ah kau pasti lebih memahami.. jangan bingung, surat ini tidak ku
peruntukkan untuk membingungkanmu. Ah sudah dulu, bekerjalah keras sedikit dan
buang hatimu, terkadang dengan logikamu saja cukup.”
Fu*king
yeah.
Comments
Post a Comment