Desir Kesunyian

             Malam ini aku menyusuri pantai yang teramat ramai. Debur ombak dan sepasang kasih yang berteriak-teriak saling bersahutan dan berhamburan mengisi kesunyian hatiku. Kadang aku terlanjur malu diam-diam memandang kekasih perempuan itu. Lelaki yang penuh kejutan, suka bercanda, tidak  seperti kekasihku dahulu;seorang pujangga yang lugu, matanya sayu karena begadang dengan rokok yang disesap setiap saat, setiap ia membuatkan puisi untukku. Puisi yang aku aku baca hingga berlarut-larut malam, hingga aku menatap-natap cermin tua yang terpasang di dindingku dan membuat cat biru mengelupas perlahan. Aku tersenyum “Ah iyakah mataku sebinar itu? “ ihihhi.. aku kemudian tersenyum lagi, meringis layaknya manusia yang baru saja waras dipulangkan dari rehabilitas. 

Pastilah mereka melihatku sebagai orang asing, tentu, Aku tidak mengenalnya, dan sebaliknya mereka jua tidak mengenalku. Lelaki itu sepertinya nakal, ah matanya mengedipiku, tangannya kadang sedikit melambai kepadaku. Awas saja batinku, kalau wanita kekasihmu tau, habis kamu di cubit. Bukan hanya dicubit ah, habis di makan Arrghhh. . .ah siapa tau? Belum tentu iyakan?. Mengapa juga aku repot-repot memikirkan kekasih oranglain. Bukankan sudah lama kekasih hatiku sirna? Ah tiada puisi setiap pagi, tiada yang menyapaku dengan rindu. Hai sayangku, sungguh aku merindukanmu, misalnya. 
Perlahan sepasang kekasih itu pergi. Aku terpaku sendiri setelah kepergiannya. Aku menduga-duga mereka akan bercinta, melanjutkan keakraban hatinya di hadapanku yang terjadi baru saja. Nakal memang, tidak semacam kekasihku. Dia selalu mencumbuku dengan kalimatnya, memelukku dengan sajak bait yang tidak perlu ongkos untuk menyelesaikan hasrat aku dengannya. Ah kekasihku, lelaki yang miskin penuh cinta. Andai kata aku tanya “hai cinta, apa yang kau mau’ ia maka akan berulang kali menjawab ‘dirimu’. Ah aku tersipu malu setiap membayangkan dirimu menjawab ‘dirimu’. 
Cerah sekali malam ini, gumamku. Rembulan dan bintang, serta cahaya yang lain menelusuri denting dan desau angin yang menghembus membelai-belai rambutku. Terkadang membuat aku geli sekaligus rishi. Hush. . . aku semakin maju, berada ditepian yang sangat tepi mencium bibir ombak yang perbeberapa detik mencium ujung jariki, lalu menghempas mundur lagi. Setelah itu sunyi kembali. Lalu mataku melongok ke arah perahu. Tapi anehnya perahu itu seperti tidak berpenghuni. Dari kejauhan nampak mulai rapuh dan tak terurus. 
Aku teringat dengan  sepasang kekasih yang bercanda ria dihadapanku beberapa menit lalu.  Aku coba berjalan mengekor jejak keduanya, setelah aku ikuti baik-baik mereka sedang asyik memadu asmara, sepertinya ia tidak berjumpa dua tahun lamanya, terlihat nakal, beringas sekali lelaki itu. 

     Ah, aku malah terbangun dari imajinasiku, imajinasiku duduk di tepi pantai, disudut malam dan membayangkan sepasang kekasih sekaligus kekasihku dahulu yang ternyata juga hanya imajinasi. 

Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang