Terlahir Kembali





        Mataku terbelalak, “Aku di mana,  Aku di mana?” suasananya sunyi, senyap, tiada apa pun yang ku dengar. “tidak, tidak—aku  tidak mungkin di dasar jurang” aku terus berpikir-pikir mencari tahu keberadaanku. Tapi ruangan ini terlalu sempit untuk disebut jurang. Sempit sekali, ya lebih sempit dari kamarku di rumah.

       Aku berjalan mondar dan mandir, tidak sampai  terhitung berpuluhan meter karena setiap satu langkah maju, selangkah mundur semacam menabrak sesuatu. Aku coba berjalan menyamping, sama juga batinku—ke kanan juga ke kiri tetap saja sama hasilnya. Gelap, ya gelap bagaimana aku bisa tau aku berada di mana. Ponselku, aduh di mana ponselku? Aku semakin resah, padahal aku ingat persis kemarin baru saja aku membeli kuota. Bagaimana bias ponselku pergi begitu saja—kantong, ya di kantong. Ahh tetap saja tidak ada apa-apa;bahkan sisa gajianku minggu lalu.

      Aku seperti orang ling-lung, nafasku mulai sesak, ruangannya mini—tingginya pun tak seberapa, mungkin hanya dua jengkal setelah kepalaku berdiri. Hawanya panas, aku lepas baju ku juga percuma ini terlalu panas. “Hei adakah orang di sini?” teriakkanku paling mentok bahkan tidak didengar seorang pun. Di mana aku? 

    Aku bahkan tidak menemukan pintu, jendela satu pun bahkan ventilasi. Sebentar lagi aku bisa mati—nafasku bahkan mulai melemah, senin-jum’at huh.  Suhunya naik semakin panas, panas, dan panas sekali, anehnya meski tidak ada lubang kecil tetapi seperti ada desiran yang mengombang-ambingkan tubuhku yang berdirii tegak. Ada orang datangkah? Batinku—ada yang janggal menurut perasaanku, kenapa aku tak juga ambruk dan mati padahal untuk bernafas saja aku sudah cukup sulit, sakit, luarbiasa sakitnya. Aku menangis meronta-ronta, dalam kehidupanku aku tidak pernah menangis menjijikkan seperti ini—bahkan saat berantem dengan Tio meski wajahku tertonjok dan berdarah  tetap tidak menangis, bahkan aku tertawa Hahaha. Tubuhku tertunduk lesu, tidak tahu apakah wajahku pucat pasi atau masih setampan seperti kata kekasihku.

      Dyar  .. ada suara! kaget sekali, jantungku rasanya telah copot, namun aku tetap saja tidak mati. Aku tidak bisa melihat apa pun. Namun aku yakin ada orang yang mendekatiku—tebakanku sekitar dua orang,  tepatnya berada di kanan dan kiriku. Tapi aku sendiri tidak yakin. Yang jelas yang kanan sedikit lebih tidak panas daripada yang sebelah kiri.

“Apa saja yang kamu lakukan selama ini?”
“Aku ingin terbahak-bahak mendengar pertanyaanmu itu--Hahaha” jawabku sambail terpingkal-pingkal. Kemudian terdengar lagu dengan suara yang berbeda namun masih bertanya hal yang sama
“Apa saja yang kamu lakukan selama ini?” pertanyaan kedua lebih tegas—suarnya besar dan menyeramkan
“Tentu banyak” celetukku spontan

       Tiba-tiba suara itu terhenti, tapi aku percaya orang tersebut masih di sampingku. Panas—ya panas sekali. Jiwaku mendadak merenung, pikiranku membawaku menuju kemarin, kemarin dan kemarin-kemarin. “apa yang telah aku lakukan selama ini ya” dengan heran bertanya sendiri pada diriku. Belum sempat mendapatkan jawaban suara mulai terdengar lagii, namun kali ini terdengar lebih menggelegar dan pas di telingaku.

“Kau menghabiskan waktumu terlalu santai, kadang kau berjudi, meminum arak, bahkan  melupakan apa yang seharusnya menjadi kehendakmu”
Tersambung suara selanjutnya
“Kau tidak meninggalkan apa pun dalam bentuk kebaikan, kepongahan hatimu menjadikan watak angkuh dan sombong terhadap orang lain”
“Kau hanya memikirkan dirimu, membiarkan orang tidak makan, bahkan tidak jarang menyakiti orang lain—kau merasa yang paling benar”
“Kau sibuk menghitung kekurangan teman-temanmu, menghardik orangtuamu, bahkan melupakan Tuhan”

       Suara itu sambung menyambung seolah membuka lembaran hidupku—seluruhnya tersebutkan, tak terkecuali kebaikanku. Kebaikanku terhitung hanya ada satu dari sepuluh. Meronta lagi, kali ini hatiku yang menangis, aku menyia-nyiakan waktuku. Kedua orang tadi benar. Aku bahkan melupakan kewajibanku yang berkaitan dengan Tuhan, Manusia, bahkan Alam. Tidak hanya tertunduk lesu, tak berdaya, tidak kuasa menangis tanpa air mata.

“Hai kalian, beritahu bagaimana caranya aku keluar dari sini—aku akan menjalankan kewajibanku, menuruti ibuku, menyantuni yang semestinya dan tidak akan menghabiskan waktu untuk tidur dan berfoya-foya seperti sediakala” aku memohon, tidak berlutut—ya aku tidak tau seperti apa mereka dan di mana posisi lututnya.

“Semua sudah terlambat” katanya

      Suhunya tambah memanas, bahkan panasnya tidak sanggup aku ceritakan dengan kata. Tubuhku mulai terasa terbakar dimulai dari ujung kaki merambar ke atas seperti di dalam tungku, sakitnya luar biasa--rintihanku diabaikan, ouh sakit, Tuhan tolong aku !!. Tidak aku mengerti dari mana arahnya pisau-pisau itu--tiba-tiba  tubuhku terperanjat kesakitan bagaikan dirajam namun tak berdarah. Itu terjadi berulang-ulang, lagi  dan lagi seolah yang menyiksaku tidak mengerti tangisan maafku hingga aku terkulai disantap hewan aneh dan mulutku terus bermuntah-muntah mencium bauku sendiri.


Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang