Terkurung Dalam Kesuksesanku (Song Yun)

                                                         

       Sudah semenjak beberapa tahun yang lalu potretku di mana-mana. Katanya aku superstar. Bahkan banyak yang menggandakan potret wajahku, mulai di gandakan melalui ponsel, dicetak, poster-poster besar. Ah lengkap sudah. 
“Song-Yunnnn.. Song-Yunnnn”  para wanita menyebut-nyebut namaku. Berjuta lautan manusia menunggu aku menyanyi, kemudian setiap gerak-gerikku selalu diperhatikan. Menjadi sorotan mata ke mata. Lensa kamera dan segala penjuru dunia. Terkadang di pagi hari aku masih di negaraku dan siangnya sudah  harus berada di Singapura, dilanjutkan perjalanan sore, malam. Siklus yang sama, berkeliling dari negara A,B,C, dan D. aku sudah tidak fasih menghitung angka, lupa berapa negara dalam seminggu yang aku kunjungi. Manajerku sudah mengatur semua;bajuku, sepatu, tiket dan segala tetek bengeknya yang malas aku sebutkan satu persatu. Hmm mereka pikir aku terlalu nyaman, ‘di surga’ katanya, apa saja bisa aku raih hanya dengan  satu detik. wanita? Aku bisa memacari wanita cantik mana saja dengan modal wajah dan karirku. Harta? Aku sampai tidak tau sebanyak apa saldo dalam tabunganku. Aku bahkan baru sekali dua kali merogoh saku, Yapsss terbiasa hanya dengan “Menggesek” atau malah sudah diatur asistenku. Ha..Ha..Ha kadang aku tertawa terbahak-bahak melihat diriku sendiri, menertawai kesuksesanku. Ah ‘lucu’ iya memang begitu. Lucu dan sedikit wagu.

                        Tidak sekali dua kali aku menjadi brand pakaian, sepatu, bahkan makanan yang dibandrol dengan harga sangat fantastis. “Bagaimana tidak, celana satu biji saja bisa puluhan, bahkan ratusan juta.” Miris, haruskah bahagia, atau justru bersedih mengingat satu, dua, bahkan jutaan manusia yang tidak sanggup membeli roti dan sekaleng susu. Pernah suatu ketika digelar jumpa pers di Amerika para wartawan bertanya satu demi satu dan bersahut-sahutan sekaligus gontok-gontokkan dengan bodyguard-ku. “Apa impian terbesar yang belum tercapai selama setahun terakhir ini?” aku menjawab spontan “My Time”. Nampaknya jawabanku membuat orang-orang tercengang. Para wartawan masih berusaha menyelidik apa maksud ‘my time’ yang aku ucapkan.

 “Song Yun”  ..Song Yunn..  teriakan itu selalu menggema saat aku mulai melangkahkan kakiku di panggung. Hingar bingar suara itu menyenangkan sekaligus memabukkan. Kalau saja tadi waktunya tidak tergesa-gesa aku akan menjelaskan ‘my time’ yang aku maksud. Hah bahkan kalau bisa aku ingin melepas ketenaranku, aku telah berubah, tidak menjadi aku. Lha kok bisa? Bisa, tentu saja. Bahkan untuk berdiri santai di jalan saja aku tidak bisa. Tentu mereka akan berbondong-bondong mengelilingiku, meminta foto, memelukku, dan segala cara bentuk apresiasi mereka terhadapku yang banyak tidak aku sukai. “Uh” menyebalkan. Aku ingin menonton televisi sepuasnya saja bahkan tidak mungkin, dikejar wakktu dan waktu. Panggung, iklan, dan jumpa pers. 
What the hell of my life yeah. Semenjak hari di titik yang paling jenuh aku berpikir “bukankah sederhana lebih indah?dan itulah sejatinya menikmati hidup?” pertanyaan itu terus terulang-ulang dalam benakku. Aku tidak pernah berdoa, tidak mengenal agama. Dalam diriku hanya mengenal baik dan buruk. 

Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang