Tidak Ada Lagi Yang Laku, Kecuali....()
Pict By google
Tidak
seperti siang yang lalu;cerah, panasnya merajai kampungku—sekarang dingin,
tiba-tiba saja hujan mengguyur tanpa permisi membanting-banting gentingku yang
rapuh hingga jatuh ke tanah. Sepulang aku dari kali untuk Ngangsu[1]
sembari lari-lari mencangking[2]
ember karena dikejar hujan, usuk, genteng, dan penyangga rumah reot lainnya
ambruk. Bukan hanya karena dimakan waktu, tapi hujan juga rayap-rayap yang
setiap hari ku lihat dengan lahap menggerogoti.
Aku
tercengang, SETAN ALAS—misuhku. Kamarku diguyur hujan hingga basahnya rata
karena gentengnya sudah tidak berfungsi, semua pakaianku basah tidak terkendali
termasuk celana dalamku. Ya bagaimana tidak basah, pakaianku hanya aku tumpuk
saja di atas ranjang kayu peninggalan emak—tanpa lemari, kotak plastik dan
sejenisnya.
Pasti esok
hari akan banyak mulut berbusa dari tetangga. Apalagi Mak Inah yang wasis
membicarakan kejelekanku. Sudah berapa kali memfitnah, bahkan ia memberitakan
kemana-mana bahwa suamiku mati karena ulahku. Tidak masuk akal memang, tapi
biar saja. Aku siap mendengar konser mulut mereka besok yang akan membicarakan
rumah reotku yang lumpuh setengahnya. Dan kini pun yang tersisa hanya ruang
tamu yang ukurannya tiga kali empat dan pawon[3]
ukuran dua kali tiga.
Aku akan menunggu reda—ya, sementara aku akan
menetap di ruang tamu, meski dengan perasaan harap-harap cemas takut ruang tamu
juga menyusul ambruk seperti lainnya. Aku patut bersyukur, untung saja saat
hujan deras posisiku tidak di kamar. Aku bahkan tidak sanggup membayangkan jika
aku tadinya tidur siang terbaring di
kamar—ah mungkin aku sudah mati. Mati tertimpa rereotan rumah, ah gubuk ! tidak
layak aku sebut rumah. Betapa ngerinya, aku akan mati terbaring sendirian
selama beberapa hari sampai batangku tercium, itupun aku tidak yakin ada yang
sudi mengurus upacara pemakamanku, apalagi mendoakanku. Bahkan hari ini aku
tidak memiliki uang serupiah pun. Sudah 3 hari barang daganganku tidak laku.
Tempeku tidak ada yang membeli, ini berkat fitnah Mak Inah yang berhasil total;katanya
tempeku terbuat dari kedelai murahan. sejak hari itu pun orang-orang tidak lagi
membeli tempe meski anak mereka merengek-rengek minta digorengkan tempe.
Ya, Mak Inah terlanjur dendam, hal itu diawali
semenjak Pardi—suamiku yang telah mati tidak setuju dinikahkan dengan anaknya.
Suamiku memang tampan, Mas Pardi juga
pernah bilang padaku “Kamu satu-satunya wanita tercantik di desa ini, wajar
saja semua orang iri” katanya lirih sebelum aku kehilangan perawanku pada saat
usiaku 17 tahun, tepatnya di malam pertamaku. 3 tahun telah berlalu, tatapi
terkadang aku masih menaruh rasa curiga terhadap Mak Inah. Entah kenapa aku
yakin bahwa yang ada dibalik kematian Mas Pardi adalah…. , ah aku tidak peduli. Biar
saja, biar saja Tuhan yang mengaturnya. Biar saja keluarga suamiku tidak peduli
lagi denganku, dan aku hidup sendiri.
~~~
Aku mengambili
satu demi satu kayu-kayu bekas penyangga, usuk, ereng gubukku. Tidak ada tangan
lain yang membantu membereskan. Hah.. memang aku dilahirkan sebagai wanita
kuat. Tapi lemah dalam urusan ekonomi, aku membereskan gubukku sendirian karena
tidak mampu membayar tangan-tangan lelaki perkasa. Bapakku sendiri pun sudah
tiada semenjak aku umur lima belas tahun,
semenjak aku pertama kali di lamar juragan sapi dan ku tolak. Kemudian hari
berikutnya bapakku dikabarkan mati, ya mati seketika tanpa tanda-tanda
kematian.
Aku memasukkan
kayu-kayu yang aku kumpulkan ke dalam pawon. Aku menentengkan wajan dan siap memasak tempe yang ku buat empat hari lalu
yang malang karena tak satu pun laku. Ini tempe terakhirku. Aku tidak dapat
menjual lagi karena tidak memiliki modal. Aku juga harus membayar modal
tempe-tempe yang tidak laku ini pada Yu Tinem. Aku berpikir-pikir, bagaimana makanku lusa,
tidak ada sepetak tanah yang bisa aku garap, tidak ada pekerjaan yang bisa aku
lamar, warga kampong membenciku, hina, menjijikan—katanya.
***
Setelah seminggu berlalu, banyak pembeli
baru yang bermunculan datang ke gubukku. Terutama pada malam hari. Mereka tidak
untuk membeli tempe dari kedelai. Mereka membeli yang lain. Para lelaki itu
adalah yang selalu menggodaku di kali tanpa sepengetahuan istrinya, tidak
sekali dua kali, tapi sekian lama sebulan setelah Mas Pardi mati. “Dadamu
merekah, terutama saat menggunakan jarik di kali” . Sialan—tukasku mendengar
Mitro mengatakan itu pada waktu mencegat
aku menuju ke kali.
***
Aku kebingungan
mengais padi darimana? membeli minyak dengan apa? jlantahku[4]
sudah habis pula. Tidak ada yang bisa ku jual, termasuk cincin dari mas Pardi
yang sudah lenyap direbut mertuaku. Hingga tidak habis pikir aku berniat
menjual kelaminku.
|
Comments
Post a Comment