Pict. By Google
Aku berjalan
pelan dari pos ronda menuju rumah sendirian. Selama aku berjalan seolah ada
yang membuntutiku dengan sengaja—aku berkali-kali menengok ke belakang dengan
was-was. Ah ternyata firasatku saja;dibelakang tidak ada seorangpun. Aku
melanjutkan berjalan lagi, namun ketika aku mencoba melangkahkan kaki lagi
tiba-tiba aku merasa lebih merinding dari sebelumnya. Seperti ada seseorang di
belakang punggungku. “Settt…”aku
melongok ke samping, kemudian belakang dengan sigap. Dan hasilnya nihil, sama saja. Tidak
ada seorangpun, hanya menghasilkan kekosongan dan kecemasan terhadap diriku
sendiri yang kian hari kian mengkhawatirkan.
***
Rumah nampak
sepi, tiada lagi suara bapak dan emak cekcok, atau saudaraku yang lain. Hanya
terdengar samar-samar gemercik air kali di belakang, sesekali juga air toler
yang mengalir sekali dalam setengah menit ke dalam gentong.
“Ah tidak ada nasi dan lauk yang
tersisa”. keluhku
Barangkali makanan yang dimasak emak telah
habis disantap bapak yang lelah mengomel setiap jarum jam berkeliling. Aku
kembali menuju ruang tengah yang biasa menjadi tempat peristirahatan, bukan
karena tidak memiliki kamar, tetapi kamar yang lain dihuni saudara-saudaraku
yang harusnya juga bersamaku. Maka lebih baik aku di ruang tengah, suasananya
sepi, senyap—tidak ada TV, memang aku kurang beruntung, bapak sangat
perhitungan terhadap uang, tidak mungkin mengeluarkan uang untuk membayar
listrik untuk menonton Tv, bahkan makan yang sedikit enak saja dia protes, walau jika
dimasakkan tidak enak bapak juga tetap protes terhadap Emak—bahkan pengeluaran sekolah pun bapak tidak mau
tau. Yang dia tau adalah aku harus
menjadi yang ‘pertama’ yang ‘wah’ di antara pemuda lain di desa, aku harus paling
cerdas, dan yang jelas “Dadi Wong” suatu hari kelak. Mendengar cita-cita
bapak itu membuat bulu kudukku seketika bergidik, faktanya ia tidak pernah membiayai
sekolahku, Emak yang kerja keras menggarap tanah sendiri. Bapak sebenarnya bukan tidak mampu membiayaiku. Hanya saja memang terlalu pelit,
tepatnya sangat gila harta. Ah aku tidak ingin terlalu bersikeras memikirkan bapak,
besok aku harus pergi ke sekolah, besok
Ujian Nasional aku takut semakin durhaka jika memikirkan bapak yang sulit
dicari kebaikannya. Aku harus tidur, Ya, aku masih berharap masuk ke perguruan
tinggi, aku harus sungguh-sungguh mengerjakan soal ujian nasionalku besok, aku
ingin melenyapkan kekacuan di kepalaku ini. Ah… tidur.
***
Tanpa
disadari sekarang aku telah dewasa, umurku sudah duapuluh tiga tahun, dan juga memiliki
kekasih yang cantik seperti Sri adik tingkatku persis di Fakultas. Hmm... Aku patut sedikit berbangga hati jika
menyadari bahwa dalam satu desa hanya
aku saja yang bisa menuntaskan kuliah di perguruan tinggi. Hal ini tidak lepas dari perjuanganku. Yaaah…
aku memang sedikit durhaka, aku tidak menganggap bahwa ini adalah perjuangan
bapak dan emak. Selama tiga tahun lebih aku kocar-kacir untuk
mendapatkan gelar ini, untuk “dadi wong” seperti yang bapak inginkan, meski
tanpa dipedulikan mereka, tanpa dikirim uang, entah jika dengan doa;walau aku
tau bapak punya uang. Ah yasudah, tapi, tapi aku tidak bisa membohongi hati
kecil ini. Hati kecil yang menahan lara, menahan dendam yang teramat. Betapa
teganya mereka, semenjak kecil aku disuguhkan ‘masalah-masalah’ mereka yang
rumit, sulit dipahami, tidak dapat ku cerna. Mereka saling berebut kebenaran,
‘aku yang benar, aku, aku, dan aku’ itu itu saja.
Saat akalku
mulai tumbuh, bapak tidak jarang menendang, atau bahkan memukul kepalaku,
bahkan melempar sandal emak yang keras ditubuhku.
Sampai suatu hari aku mulai menaruh benci dan dendam yang teramat. Mirisnya kebiasaan bapak dalam bertarung dengan emak ternyata dicontoh oleh saudara-saudaraku. Ah malang…
Aku menjadi
bungsu yang teraniaya. Meski aku lelaki, aku tetap selalu kalah dengan saudara
lelakiku yang lain. Kita kurang lebih mengikuti sedikit jejak emak bapak,
sering berargumen, kerap cek-cok dan aku selalu kalah. Ya kalah—pernah suatu
kali saudaraku melempari aku piring saat aku membantah perkataannya hingga
berantem luar biasa dan keluarlah sebanyak-banyaknya darah dari jariku yang
terlukai pecahan piring. Hingga rasanya aku malu sekali ketika tiba-tiba
tetanggaku datang dan menanyaiku. Hari itu emak dan bapak ke sawah, dan aku
..ah.. masa lalu yang hina.
***
Lima
hari lagi aku akan melakukan sidang skripsi, akhir dari perkuliahanku dan awal
aku akan ‘dadi wong’ aku bingung apakah aku harus pulang dan meminta doa
restu, apakah meminta maaf, atau mereka yang akan meminta maaf dan aku
memaafkannya? Aku rasa tidak, mereka tidak akan meminta maaf padaku. Betapa
haru mengingat semua itu. Belajar tanpa dukungan materi juga motivasi, saat kawan-kawan
seperjuanganku mengirimkan surat dan menerima surat dari ibunya. Aku? Aku
selalu menunggu surat rindu, surat maaf, atau amplop berisi uang kiriman. Tapi
itu hanya angan, atau tidak bisa dipungkiri mungkin sebenarnya aku yang rindu—ah
menyebalkan sekali.
***
Dua
tahun lalu sempat aku menyisihkan uang dari kerja paruhbayaku menjajakan Koran,
mengajar matematika dua kali kali dalam tiga hari dan kerja-kerja lainnya. Aku pulang, dan aku lihat rumah sudah sedikit
direnovasi, sore itu bapak sudah tidak pernah ke sawah;sakit-sakitan, emak
sedang berusaha meniup-niup kayu ditungku karena apinya tidak kunjung berkobar semestinya. Ah sama saja, keadaan
masih sama, tidak ada yang berubah, saling acuh, tidak peduli dan selalu
mencari ‘kebenaran dalam diri sendiri’. Jika saja aku kaum hawa tentu saja air
mataku deras mengucur, tapi tidak—aku, aku masih sanggup menahannya. Hingga dua
hari kemudian aku kembali berjuang melanjutkan kuliahku. Kepulangan ini
menjadikan sesak, luka baru dan pilu yang mendasar dalam palung jiwaku. Bapak
masih sama, masih suka marah-marah, cek-cok, dan segalanya yang aku ceritakan
di awal. Hingga ada hal yang aku rasa lucu. Tiba-tiba bapak mengulurkan tangan,
mengajak salaman sebelum aku pergi meninggalkan rumah. Aku membiarkan tangannya
terulur, aku pergi begitu saja dan mengacuhkannya dengan perasaan aneh. Aku
tidak menghiraukannya seperti mereka
yang tidak menghiraukan antara satu dan lainnya.
“Ayo ayo naik..” tiba-tiba kondektur
bus menarik lenganku, aku bergegas naik bus dan memilih duduk dipojokkan. Lima menit kemudian
bus berjalan. Anginnya segar, pohon-pohon di jalanan menghempaskan perlahan kesejukan
yang berasal dari dedadunan;walau tetap saja kesejukkan itu tidak mampu menggugurkan resahnya
perasaanku. Aku meratapi, namun hanya ratapan dalam hati, wajahku bahkan terlihat
sangat baik-baik saja. Namun dalam hatiku merintih, andaikan aku tidak dilahirkan
saja—pintaku. Tetapi nasi sudah menjadi bubur, aku terlanjur hidup, maka aku
harus menajalaninya. Mungkin hanya Tuhan yang pantas mengerti jiwaku yang
rapuh dan gemuruh suara bus yang menambah pikiranku semakin hanyut dalam
kehancuran.
***
Sri
kekasihku memaksaku pulang untuk memohon
doa restu atas sidang skripsiku—namun aku masih bersikeras mengatakan ‘tidak’.
Dalam hati kecilku aku tidak bisa mengerti, dan jika saja kau panggil aku
durhaka, boleh saja. Bahkan aku masih kepikiran bagaimana sekarang sifat
bapakku, apakah masih sama, apakah ia sedih karena terakhir ku tolak uluran tangannya
yang mengajak salaman. Terkadang
pikiranku yang picik berpikir ‘jika saja tiba-tiba Tuhan memanggil dirinya’
maka aku telah menolak permintaan terakhirnya. Tapi? Ah… siapa yang pantas
memaafkan, siapa yang pantas dimaafkan sebenarnya?.
|
Comments
Post a Comment