Bad Expectation

pict. by google




Akan ku awali puisi indah dari  Joko Pinurbo yang berjudul di atas meja dengan sajak yang menakwil perasaan yang telah lunglai kau lukai perlahan, dan diam-diam kau tawan kebahagianku.
Di atas meja
Di atas meja kecil ini
Masih tercium harum darahmu
Di halaman-halaman buku
Sabda sudah menjadi surga
Saya akan dipecah-pecah
Menjadi ribuan kata.
***
Membaca puisi sembari membayangkan engkau. Engkau yang dengan sengaja pergi  menyamai datangnya gerimis sore itu.
“Aku pergi dulu” katamu sambil memasukan ponsel di dalam tasmu
Dengan raut penuh pura aku berkata “Ya”.
Seketika langkah luasmu meninggalkan aku, kursi, serta meja-meja kafe di sekitarku.
Aku menarik nafas, dalam, pelan, perlahan tapi pasti. Ku seduh teh yang sudah mulai surut es-nya. Sambil membayangkan kebersamaan yang kekal—ah aku mengkhayal saja. Musim ini rusuh, sebentar panas, sebentar hujan. Ritmenya mirip engkau, yang sebentar datang, lalu sebentar pergi. Sebentar diam di sampingku, sebentar tanggal dibawa angin yang menghujani genteng dengan dedaunan. Aku tidak menyesal  kau pulang lebih awal untuk  menemani kawan-kawanmu yang sudah menunggu. Hanya saja sedikit kecewa dengan perasaanku, perasaanku yang selalu ingin denganmu, perasaan rindu yang selalu ingin bertemu. Ya sudah biar impas, begini saja—aku  juga akan pergi meninggalkan kursi, sesekali seduh lagi, kemudian aku akan beranjak dari kursi dan mejaku. Ah tidak, tidak. Maksudku yang pergi adalah khayalku, ingatanku, pikiranku, dan hatiku. Akan beranjak mengejar engkau yang hanyut termakan waktu. Biar saja, biar saja ragaku di dalam keramaian sendirian—tanpa akal, pikiran, dan dengan jiwa yang melayang-layang.
***
Ku lihat di gelas masih ada sisa kecupan bibirmu, aku harap-harap cemas karena cemburu, engkau mencumbui gelas itu. Kemudian kau pergi lagi untuk mencumbui gelas baru. Aku cemburu ketika engkau lekas mencumbuiku lantas pergi begitu saja dan mencumbui wanita lain.
Aku tetap memutuskan  duduk seharian di bangku kafe sendiri, kau tidak perlu khawatir bagaimana pulangku, bagaimana ongkosku—aku baik-baik saja. Hanya sedikit ngilu, nyeri dadaku, dan kecewa diriku. Kenapa kau tidak memilihku saja untuk menemanimu lagi. Bosan, bosan karena semenjak senja kemarin kau telah bersamaku. Ah aku—aku memilukan sekali selalu kecanduan hadirmu. Jariku meraba kerut keningku yang makin berlipat. Bingung sendirian, mojok kesepian, dan termenung hidup dalam halusinasi.
Bukankah kau tau?, sekaligus mengerti?, hanya kau satu-satunya yang aku punya. Bisa ku sebut engkau bagian dari 99%  sendi semangat tubuhku. Meski kadang berbanding terbalik menjadi 99% perih dihidupku. Karena tak henti-hentinya aku berekspektasi tentangmu, sehingga aku terluka karena nyaris miris engkau melesat jauh dari ekspektasiku.
***
          Lihatlah, aku lalu-lalang. Maksudku pikiranku, gelisah yang menyeruak dalam selaksa rongga jiwa, dan nampak sekali dalam mataku yang makin sayu.  Sekali ini aku tidak ingin diganggu. Waktu keseluruhan hanya untuk diriku sendiri. Senja semakin senja, semakin lengkap menyelimuti jiwa yang lengah dan penuh gemuruh, gelisah, getir. Sedikit saja aku ingin berkata pada diriku
“Stop, hentikan pikiran yang binal, sebentar-sebentar menciumnya, sebentar-sebentar memeluknya.”
“Hentikan ! sekali lagi”

Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang