Wanita Di Ujung Senja


         


Aku memukul-mukul kepalaku, kemudian menjambak-jambak rambutku yang kumal,  sudah dua hari ini aku begini, ya beginilah. Terus memukul kepalaku, menjambak rambutku, tetapi tetap saja aku  tidak merasakan sakit, karena kesakitannya telah berakhir dua hari lalu karena sesuatu yang menyesak didadaku. Aku terus melakukan rutinitasku seperti yang telah aku sebutkan tadi, memukul dan menjambak, bahkan tanpa memakan apapun, tanpa meminum apapun, kadang aku ingin darah segar, mungkin itu lebih segar daripada wine yang sering dicicipi teman-temanku.


            Aku ceritakan dua hari yang lalu ketika mentari mulai menyudutkan rembulan, tanpa bebintangan, dan tanpa suara apapun kecuali rintihanku sendiri. Aku seperti membuat ilusi neraka dihadapan mataku, sungguh.! Mataku basah, hidungku basah, basah, basah, dan semuanya telah basah. Bukan karena hujan, ataupun banjir, begitulah memang ceritanya. Bermula saat aku baru saja pulang mengunjungi rumah nenekku, tepat jam 11 malam aku sesampai terminal kotaku. Jangan coba-coba menduga-duga, aku tidak dirampok preman terminal, atau diperkosa kaum berandalan. Hanya saja baterai ponselku limit. Aku mencegat taxi dan menaikinya, dan tentu juga bukan supir taxi yang membuat sesak dadaku 2 hari yang lalu.

“Kenapa Pak mobilnya?” tanyaku seketika saat mobilnya tiba-tiba ngadat.

“Macet Neng, maklum ini mobil tua” katanya penuh santun
Aku menatapnya dengan mata melas. Aku tau  bapak paruhbaya ini mungkin berjuang untuk anak dan istrinya yang menanti rupiah di rumahnya.

“Sudah jam 12 Pak, bagaimana dengan mobilnya?” tanyaku dengan nada pelan

~~~
Angin di jalanan yang sepi itu membawa dedaunan yang baru saja gugur dari pohon terseok-seok di jalanan , kemudian hujan itu merampasku, ya.!

     Ternyata tebakanku keliru, bapak paruhbaya itu lebih binal daripada anjingku di rumah. Ia mendekatiku langkah demi langkah. Aku terpekik saat ia tiba-tiba mencoba merangkulku dari belakang—sayang sungguh sayang, teriakanku tidak menembus hujan, tidak pula menembus angin malam itu yang terus mengencang. Aku lihat rerumputan di pinggir jalan bergoyang, mungkin berinisiatif membantu kepicikan lelaki itu, goyangan rerumputan itu menambah desis angin yang lepas disertai hujan yang deras.  Tangisku bercampur hujan yang membasahi jaketku. Dan aku telah keliru, dugaanku keliru, lelaki paruhbaya ini sungguh biadab. Andai saja malam itu terdapat kerlip gemintang yang terang, maka akan lebih mudah orang-orang mendengar teriakanku yang bercampur pesimis karena keprawananku direnggut lelaki supir taxi. Aku tak bisa menghela nafas, tubuhku memar, kedinginan, ketakukan, dan sebuah keputusasaan melebur menjadi satu. Aku tidak bisa membayangkan berapa juta wanita yang bernasib sama halnya denganku. Entah, seperti berita yang aku saksikan 3 hari yang lalu, atas inisial D berusia 15 tahun diperkosa 21 lelaki, ada lagi anak yang digerayangi bapaknya sendiri, oh sungguh, manusia itu tidak lagi berperikemanusiaan, aku tak patut menyebutnya lelaki sejenis itu dengan sebutan manusia, faktanya anjingku lebih berperikemanusiaan, hanya sekian persen anjingku memperlihatkan perikehewanannya.  Aku masih berusaha menghela nafas saat lelaki itu merengkuh tubuhku, tetapi tetap bisa, aku jadi ingat persis kejadian sebulan lalu yang aku baca dikoran lokal.  Seorang gadis berusia 16 tahun siswi SMK diperkosa guru olahraganya sendiri. Aku tidak sanggup menerka bayanganku, akankah rintihnya persis seperti diriku, persis seperti kucing yang kelaparan berhari-hari karena ia tidak lucu dan tidak ada yang sudi menjadi majikannya, kemudian mengharap belaskasih seseorang agar membantunya. Untuk diriku sendiri waktu itu aku berharap tangan Tuhan turun di depanku, aku ingin mata lelaki ini dicungkil hidup-hidup, dan itu pun mungkin tak cukup untuk membayar rasa sakitku malam ini.  “Harusnya ia menyewa jalang saja jika hanya ingin memenuhi nafsu iblisnya”  pikirku. Aku terbelenggu, aku tidak berdaya,  ritme jantungku mulai lamban diikuti dadaku yang sesak dan mulutku yang disumpal kaos kaki yang biasa ia kenakan saat meneyetir. Lelaki bejat itu, ia setengah telanjang di pinggir jalan, ia pikir Tuhan tidak melihatnya, ia pikir hanya berdua, lihat saja, sekarang aku sudah ramai dibicarakn dikoran-koran, di-TV, dan di media massa mana pun, sebentar lagi mungkin—aha, aku sudah mati, cukup polisi yang membereskan sikap iblismu, dan kini beritaku menjadi trending topic seperti halnya kasus seminggu lalu yang di alami bocah berinisial S yang di perkosa saat orangtuanya pergi, kemudian ia dibunuh dan dibuang di semak-semak persis seperti seseorang yang membuang sampah bukan pada tempatnya, blesss  begitu saja di lempar. Dan 2 hari yang lalu aku mengalami.  Itu alasanku kenapa aku menjambak-jambak terus rambutku dan memukul-mukul kepalaku tanpa henti, aku semacam depresi tapi belum gila. Aku masih memikirkan kasus ini, PR untuk siapa sebenarnya? Wanita, lelaki, atau orangtua, atau mungkin pemerintah? Ah aku pikir semua, tetapi termasuk PR bagi lelaki yang biadab seperti sopir taxi malam itu. Walau aku telah mati, kemudian depresi tetapi aku dapat mengingat betul saat darah, air mata, air hujan mengucur, basah, dan basah.

Dan satu lagi, apakah mungkin lelaki seperti itu masih bersedia tidur nyenyak setiap malam? aku pikir tidak, jika memang iya, tidak perlu dipertanyakan lagi ia memang benar-benar hewan yang berbentuk manusia dan kebetulan memiliki akal--itupun tidak sehat.

Comments

  1. Kantor Polisi, mereka menginterogasiku dengan pertanyaan-pertanyaan "Untuk apa anda keluar malam?", "Baju apa yang anda kenakan malam itu?", menyudutkanku seolah aku yang bersalah atas tragedi keji yang menimpaku. Keadilan? Apa masih ada keadilan di dunia ini? Ingin aku berteriak "Aku selalu berpakaian yang menutup aurat seperti yang kalian lihat! Kalian justru memojokkanku!". Aku adalah korban, namun entah mengapa aku yang ditersangkakan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang