Suara Bisu Yang Menderu




Jarak antara aku dan Tuhanku memang tidak bisa aku mengerti, kata-kata itu terlalu metafora, akan menjadi racun bagi otakku jika terus aku renungi. Nurani ini hidup ditengah kota yang kaya, yang jelata, penuh pesta, dan penuh derita. Aku  tidak perlu pusing-pusing memikirkan jarak antara aku dan Tuhanku. Ada hal intim lagi yang memperbudak pikiranku, selain mengejar idealisme juga bersaing menjadi pertama, atau bahkan bersaing untuk mendapatkan sesuap nasi. Terkadang  ada diantara mereka tidak bertegur sapa karena sesuap nasi, karena perbedaan ideologi, karena perbedaan uang didompetnya, atau perbedaan lainnya. Lembar-lembar cahaya dilangit kota tua ini menceritakan alangkah indahnya malam yang diguyur hujan di selaksa orang-orang yang merasa hidupnya semakin sarat.  Alangkah sempurnanya aku di anugerahi ‘hati’.  Aku menggunakan hatiku dengan seksama, akan tetapi beda halnya dengan otakku yang picik, terkadang menyebabkan luka yang teramat pedih. Hal itu didasari keegoisan, ketidakadilan, serta kerakusan diriku terhadap tubuhku, pikiranku, bahkan sikapku terhadap oranglain. Waktu berlalu cepat, aku mulai tak mengerti lagi hitam dan putih, semua menjadi abu-abu, semua menjadi tanda tanya dihatiku. Di kota tua yang tak pernah mati, lampu dijalanan yang terus menyala banyak menyiratkan cerita dan makna. Cerita dibalik anak perawan yang mulai pulang larut malam, cerita para bujangan yang  dimabuk cinta, dimabuk asmara bahkan dimabuk narkoba. Kebekuan dalam hati kecilku saat aku menyaksikan beberapa penderitaan, tepatnya ketika dimusim hujan. Yang orang-orang sebut dengan nama’ pengemis’ ia kebingungan mencari keteduhan payung, keteduhan jembatan, dan ku lihat juga ada pengamen tua yang menggulung tikarnya perlahan dengan tubuhnya yang membungkuk. Aku tau mereka mendambakan sesuatu yang disebut ‘harta’ bukan ‘bahagia’ karena untuk memastikan sebuah kebahagian adalah hal yang sakral, bisa saja ternyata orang tersebut lebih bahagia dari koruptor yang memiliki apartemen mewah anti petir. Atau bisa saja mereka lebih bahagia daripada diriku.
***
Aku menyaksikan kelahiran pagi hari yang sesak, dipenuhi suara tlakson, mobil-mobil mewah, dan deretan sepeda motor yang terlihat biasa saja hingga yang mahal harganya. Ada lagi yang tak kalah ketinggalan. Wanita tua berkaki satu yang menjajakan Koran ditangan yang kumal dan wajah yang kusam. Sebagian lagi orang yang mendambakan kemacetan, karena ia akan memiliki kesempatan lebih lama untuk bernyanyi dan menengadahkan kalengnya kepada pengemudi. Tak cukup sampa disitu, saat mentari tidak bernafas lagi kehidupan itu pun masih tetap  sama. Jalanan ramai, tempat pesta menyesak, dan orang-orang sibuk berpose sana sini di pinggiran jalanan yang kataya menjadi tempat wisata. Sejengkal kisahku di luar, belum lagi saat aku kembali ke kamarku. Bersama bantal lengkap dengan gulingku  dunia berubah menjadi kesunyian.     Keheningan kalbu yang dililit rindu-rindu, rindu bersama bapak-ibu, ku ingat pasti bagaimana ia sekarang, lanjut ku kenang ia sebagai pahlawan. Lidahku kelu mendengar sorak sorai kecanggunganku, dengan segala kecanggungan dalam kecanggungan. Siapa yang bertanggung jawab atas semua ini? Ada himne abadi yang bermelodi di malamku, angin yang mendesir mengangguk-angguk, kemudian membisikkan di telingaku “Siapa engkau?” “Apa yang kau rindui nanti jika kau mati?” “Tidakkkah kau sering tuli dan bisu ?”
Ketika aku mencari suara itu, aku menerobosocelah angin disekitarku engkau pergi begitu saja, ada nyanyian jangkrik yang tidak ku pahami, gemuruh hujanlah yang akhirnya sedikit menenangkan diriku meski saja gema suara ini singgah dalam hatiku. Senyap dalam bayang-bayang dan deru suara itu samar-samar terus menghantuiku.

Comments

  1. Saat membaca tulisan di atas sebuah bisikan muncul "menangis saja" katanya, namun otak segera bertanya "atas dasar apa?" Sudahlah! Saputangan mana saputangan?

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang