Sarminem Si Monyet Putih



“Sar, Mak minta tolong nanti kalau semua sudah rampung antar makanan dirantang ini ke sawah “ Suruh Mak Sinah sambil menunjuk makanan yang sudah disiapkan di dalam rantang untuk dikirim ke sawah pak lurah.

Di sana Pak Soleh suami Mak Sinah sekaligus bapaknya Sarminem mencangkul. Pak Soleh mencangkul  sawah Pak lurah sudah semenjak minggu kliwon kemarin, sudah sekitar 2 minggu jika terhitung sampai sekarang. Tentu saja memakan waktu yang lama karena memang siapa yang tidak mengetahui pak lurah kondang itu dengan segudang palawija, dan tanah yang berhektar-hektar, belum lagi harta yang lain;2 istri dan 3 anak yang tampan-tampan. Konon ceritanya pak lurah memelihara tuyul semenjak 2 tahun sebelum dirinya di angkat menjadi lurah. Dulu ia seorang lelaki bujang yang sederhana namun berpendidikan. Ia merampungkan sarjana pertanian disalah satu universitas swasta dengan beasiswa karena kecerdikannya, berita ini sudah melalang buana kemana-mana. Seketika pak lurah kaya, kemudian beristri cantik dari kota. Beberapa kali pak lurah menikah. Istri pertama mati mengenaskan dicakar anjing peliharaanya sendiri yang bermasalah dan disebut anjing gila. Sementara istri kedua mati kecelakaan terlindas truk ketika menyebrang dari pasar. Dan sekarang masih tersisa 2 istri, rata-rata memang istrinya dari kota. Tentu saja warga sekitar desanya tidak ada yang mau, takut dijadikan tumbal katanya. Orang-orang mempercayai bahwa kematian 2 istrinya adalah ulah tuyul-tuyul yang dipelihara.

Mak Sinah dan Pak Soleh tidak peduli dengan perkataan orang-orang disana. Mereka tetap bekerja di sawah pak lurah. Mereka tidak takut dijadikan tumbal, karena selama bekerja di sana pak lurah tetap bersifat baik. Bahkan bertoleransi tinggi meski pun berbeda agama. Namun anak semata wayangnya ‘Sarminem’ selalu khawatir dengan orangtuanya. Ia takut jikalau tiba-tiba emak atau bapaknya sekarat, atau mati mengenaskan. Beberapa kali Sarminem memerintahkan emak dan bapaknya untuk tidak bekerja lagi untuk pak lurah. Tetapi Mak Sinah dan Pak Soleh kekeh dengan pilihannya. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan melindunginya;tidak mau ambil pusing. Yang terpenting bagi mereka adalah bisa memberi anaknya kehidupan yang layak dan bekerja dengan giat.

***

“Andai saja wajahku tidak seburuk ini, tentu aku akan diterima  bekerja di toko mana saja seperti Lastri” keluh, peluh Sarminem dalam do’anya.

Ia menganggap bahwa dirinya terkena kutukan dan memiliki nasib terburuk sepanjang sejarah kehidupan manusia di bumi ini.  Kata orang di luar sana, dahulu ketika Mak Sinah mengandung Sarminem, tak sengaja Pak Soleh membunuh monyet putih di kaki gunung ketika mencari sepikul kayu. Sehingga diduga bahwa mungkin itu bukan sembarang monyet putih. Mitosnya bahwa monyet putih di kaki gunung itu adalah jelmaan iblis yang terkutuk. Sehingga ketika seminggu setelah terjadinya pembunuhan monyet itu Mak Sinah melahirkan Sarminem dengan rupa yang buruk hampir menyerupai monyet.  Sarminem seketika membenci cerita itu juga misuh-misuh menjadi benci kepada orangtuanya;terutama Pak Soleh yang terlibat dalam pembunuhan itu. Tetapi lambat laun akhirnya menyadari bahwa mungkin sudah menjadi kehendak Tuhan. Sarminem tidak akan mempercayai mitos-mitos itu dan perkataan orang-orang yang menyudutkan Pak Soleh, toh benci terhadap orangtua yang menyayanginya tidak akan membuat wajahnya berubah menjadi cantik.

***

Sarminem tidak cukup pengalaman dalam bidang apapun. Bagaimana bisa ia cerdik seperti pak lurah. Bahkan ia tidak selesai mengenyam bangku SD. Tentu saja, karena setiap kali di sekolah ia dihina habis-habisan oleh rekan sebayanya karena wajah buruknya. Bahkan pernah kakak kelasnya memanggil ia dengan sebutan “Monyet jelek” atau ada juga dengan wajah nyinyir melempar pisang setengah matang ke arah wajahnya dan berkata “Nyet, tangkap pisangnya”. Oleh sebab itu ia sepulang sekolah selalu menangis tersedu-sedu mengadu pada Mak Sinah. Ia bahkan tidak mendapat ilmu, tetapi hinaan yang melulu terngiang di telinga dan mata. Akhirnya Mak Sinah memutuskan Sarminem untuk keluar dari sekolah saja. Tentu ia sangat kasihan dengan anak semata wayangnya pulang sekolah dengan air mata dan kesedihan yang pasti akan menyayat dihatinya. Sarminem membantu mengurus pekerjaan rumah, sementara Mak Sinah dan Pak Soleh pergi ke sawah pak lurah. Sarminem setiap saat di rumah. Ia tidak menampakkan dirinya bertebaran di mana-mana selain warung atau sawah untuk sekedar mengantar makanan dirantang. Sarminem tidak mau menjadi bahan bualan tetangganya atau anak-anak kecil yang mengatai dirinya monyet. Tapi apa mau dikata, Sarminem memang persis seperti monyet. Terdapat bulu-bulu putih di wajah, tangan dan bagian tubuh lainnya yang menjadikan ia mirip seperti  spesies monyet, bukan manusia. Yang membedakan dengan monyet adalah Sarminem dapat berpikir seperti manusia pada umumnya juga berbicara dengan aksen dan artikulasi yang jelas seperti emak bapaknya.

***
Pernah suatu kali Sarminem meminta sebuah keajaiban dari Tuhan;berwajah cantik. Andai saja berwajah cantik tentu saja ia akan mendapatkan jodoh, tidak akan menjadi perawan lapuk. teman sekampungnya yang berusia sama dengannya; Yaitu, 20 tahun rata-rata sudah menikah bahkan memiliki seorang bayi yang lucu tidak seperti Sarminem yang menyeramkan. Rentetan do’a, air mata, juga impian menjadi cantik lama-lama ditepis, mengikis, dan membuatnya pesimis. Rupanya ia menanam beberapa tanaman bunga di bagian belakang rumah yang terletak di samping kolah[1]. Tak lain tanaman itu sebagai pelipur setiap harinya.  Sarminem menyiram tanaman bunga itu setiap pagi dan sore hingga suatu saat tumbuh indah di hiasi bunganya yang berwarna-warni, tidak seperti dirinya yang buruk rupa. Sarminem lebih senang berteman dengan bunga-bunga itu dibandingkan manusia.
Sebuah malam diselimuti dingin yang pekat Mak Sinah melihat anak tercintanya sedang bersujud meluruhkan airmata. Mak Sinah tak sampai hati melihat anak perawannya; hatinya terkulai dalam takdirnya. Bahkan ia sangat kasian karena  tak kunjung datang perjaka yang mau menikahinya.




Angin pagi ini benar-benar liar, burung-burung memutar-mutar terbang tanpa aturan di atas genting-genting, mentari sembunyi entah kemana. Langit sangat kelabu, mendung diiringi kabut yang menawarkan dingin yang teramat. Hujan mengguyur deras membuat genangan dimana-mana dan  parit-parit meluap, tetapi untung saja tidak banjir. Semua orang yang berada di luar rumah bergegas masuk mengamankan diri dari hujan yang deras, teramat deras di sertai halilintar yang menggelegar.  Bunyinya semacam dewa langit melepas amarahnya.
“Sarminem, kau terlihat cantik sekali hari ini.” Puji Mak Sinah yang terdengar samar-samar karena suaranya tersambar halilintar.
Sarminem terpekik dengan kalimat emaknya. Jarang sekali Mak Sinah memuji seperti itu. Sarminem membuka gentong yang terisi penuh oleh air;bercermin.
“Emak, sungguhkah ini wajahku? Tidak mak, tidak mungkin!”
Sarminem kaget bukan main melihat wajahnya yang seketika berubah menjadi sangat cantik bak dewi shinta dalam dongeng Rama dan Shinta. Ia bercermin cukup lama, air dalam gentong itu di ubek-ubek dan setelah air itu kembali tenang ia bercermin kembali. Ia setengah tidak percaya wajahnya  berubah  menjadi cantik.
“Kau tidak perlu heran, Nak. Mungkin Tuhan memang sudah menakdirkan dirimu seperti ini. Kemarilah, kau akan segera menjadi bunga desa”
Sarminem memeluk erat-erat tubuh emaknya. Ia menyungging senyum yang teramat tulus pada bibirnya yang membentuk bulan sabit dan mengucap banyak terimakasih sebanyak detak jantungnya selama hidup di dunia. Sarminem tidak mau tau berasal darimana kecantikan itu, ia terlalu bahagia sehingga tidak berpikir perihal itu.
~~~
Esok paginya saat Sarminem keluar rumah orang-orang memandang dengan mata terpana, takjub seperti melihat permata yang fantastik harganya.
“Siapa namamu, Nduk” Lek Sumi bertanya dengan nada yang paling manis terhadapnya
Sarminem mengingat betul ketika beliau mengejek dan mengutuk dirinya  bahwa tidak akan pernah mengizinkan anak lelakinya menikahi gadis seburuk dia.
Sarminem memperkenalkan dirinya dengan nama baru “Namaku Ine” katanya.
Desas-desus kecantikan Ine menyeluruh ke penjuru desa seberang. Setiap  orang tua di desanya yang memiliki seorang putra berbondong-bondong ingin menjodohkan anaknya dengan Ine. Mereka tidak peduli lagi meski Ine anaknya Pak Soleh dan Mak Sinah. Bahkan mereka tidak ingin menyangkut pautkan  kembali bahwa Ine mungkin saja Sarminem si gadis monyet putih yang dahulu selalu dikutuk setiap orangtua di desanya yang memiliki anak lelaki yang masih bujang, atau dikutuk oleh ibu-ibu yang sedang mengandung. “Mit, amit semoga anakku tidak seperti Sarminem” celetuk mereka sambil mengelus-elus jabang bayi di perutnya. Sarminem patut berbangga dengan keajaiban yang didapatnya. Tapi Sarminem tetaplah Sarminem meski sekarang dipanggil Ine. Ia tidak pernah sombong, bahkan setiap kali ada yang melamarnya ia selalu menolak dengan cara yang halus.benar-benar kecantikannya menghipnotis setiap mata yang memandangnya. Mak Sinah bahagia sekali melihat anaknya selalu di antre oleh laki-laki yang akan meminangnya.
~~~
Memasuki musim kemarau orang-orang akan pergi ke kali yang letaknya 2 kilometer dari desa untuk urusan mencuci, mandi, dan kaskus;kecuali keluarganya pak lurah. Suatu sore hari Ine berjalan menggendong keranjangnya yang berisikan pakaian kotor untuk dicuci. Ine bersinggungan dengan Rudi putra pak lurah.
“Kau ingin pergi ke kali?kenapa tidak di rumahku saja?”
“Tidak, terimakasih.” Tolak Ine
“Tidak usah sungkan begitu, bapak dan emakmu saja terkadang mandi di rumahku.”
Ine berpikir sejenak dan Ine pikir tidak masalah, toh kedua orangtuanya kerja disana dan aman saja. “Baiklah jika sampeyan memaksa.” Lebih baik begitu daripada harus pergi ke kali berjalan 2 kilometer. Di sore hari begini biasanya kali juga akan sepi, cukup bahaya bagi gadis secantik Ine.


~~~
Sarminem atau Ine ini mengucap syukur dan senang cuciannya telah usai. Ia memutuskan untuk mandi sekalian saja. Ine mulai melepas pakaian yang dikenakan satu persatu. Dimulai dari baju birunya, hingga akhirnya ia hanya mengenakan sehelai jarik yang menutupi tubuh singset dan kuning langsat. Rudi tiba-tiba mendekap sangat erat dari belakang. Tak heran jika Rudi melakukan hal itu. Gadis secantik Ine memang tidak aman dibiarkan sendiri.  Pada kamar mandi itu tidak tersedia pintu, karena memang tempatnya terletak di samping sumur yang berada di belakang rumah; kamar mandi para pembantu.  Lain lagi dengan kamar mandi para te-Tuan.  Ternyata Rudi sudah merencanakan semuanya. Rudi menyetubuhi Ine dengan raut beringas dan keji yang terpancar di matanya. Ine memang mengagumi Rudi anak pak lurah yang paling tampan ini sejak dirinya bernama Sarminem. Tapi tetap saja ia tidak mau diperlakukan secara tidak terhormat dan tragis. Ine memberontak sekuat tenaga dari genggaman Rudi yang brutal menjamah dirinya. Kebetulan di rumah itu sepi, meskipun berteriak pun tetangga juga tidak akan mendengar karena rumahnya terlalu luas dengan pelataran dan kebun di sampingnya. Ine menangis tersedu-sedu dan menyesali wajah cantiknya yang menjadikan petaka besar dalam hidupnya. Ine terus melawan Rudi hingga pada akhirnya menjatuhkan diri ke sumur hingga nyawanya terenggut.
~~~
Mak Sinah terbelenggu setiap waktu. Ia menyesal meminta seorang anak kepada iblis penghuni kaki gunung yang di sebut-sebut warga sebagai monyet putih melalui Mbah Gendreng. Kemudian juga meminta anaknya berubah menjadi cantik seketika. Dan sekarang ia menanggung akibat Mengkhianati Tuhan sang pencipta. Harusnya ia bisa menerima keadaan bahwa ia tidak bisa memiliki anak selamanya. Ia bahkan merasa menjadi manusia paling munafik sedunia. Semestinya bukan pak lurah yang digunjing oleh warga karena diduga memelihara tuyul. Sejatinya Mak Sinah tau bahwa pak lurah kaya karena dipinjami modal dari sahabat semasa kuliahnya, ia sukses dan kaya raya. Sedangkan perihal 2 istrinya yang meninggal memang sudah takdirnya. Dan alasan sekarang pak lurah besristri dua adalah perihal cinta. Istri ketiganya mandul, kemudian istrinya meminta pak lurah menikah lagi. Namun pak lurah tetap tidak menjatuhkan talak  pada istri ketiganya karena ia sangat mencintai setulus hati.
~~~
Mak Sinah menyesal telah pergi ke orang pintar yang memuja iblis itu. Mak Sinah matanya semakin sayu, merasa bersalah kepada semuanya;Sarminem, Pak Soleh, dan dirinya sendiri yang rakus. Mak Sinah mengingat peristiwa ketika malam hari ia mengajak suaminya ke goa tempat Mbah Gendreng untuk meminta seorang anak. Akhirnya Mak Sinah setuju meski pun Mbah Gendreng menuturkan anaknya akan lahir buruk rupa. Bagi Mak Sinah yang penting memiliki keturunan, tukasnya. Meski harus menumbalkan monyet putih di usia kehamilannya 9 bulan dengan cara memanah monyet putih tersebut kemudian dagingnya dijadikan hidangan makan pagi. Tak cukup tentang itu, Mak Sinah terjerat hubungan dengan Mbah Gendreng lagi. Mak Sinah meminta Sarminem menjadi sangat cantik.  Kala itu Mak Sinah tidak menghiraukan  perkataan Mbah Gendreng ” Jangan terhenyak kaget jika  kelak gadis cantikmu itu harus mati dengan caranya sendiri, Sinah.” Mak Sinah tidak menggubris perihal itu, yang penting Mak Sinah bisa melihat anaknya tersenyum bahagia tanpa sendu.







[1] Semacam kamar mandi yang ada di pedesaan. Biasanya terletak di belakang rumah.

Comments

  1. Dikembangin lagi neng, alur ceritanya udh bagus, cuma tinggal diperjelas lagi aja kata² di ceritanya hehehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Jenis-Jenis Novel

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang