Dendam Part 15 (Potret Wartawan)



Setiap temaram senja yang mengetuk malam sama halnya mengetuk perasaan sedihku.  Besok merupakan hari pengisian KRS kuliahku disemester berikutnya. Sayangnya aku mahasiswa yang kuliah karena beasiswa aku tidak dapat mengambil cuti karena tentu sama saja memutuskan beasiswaku. Disisi lain perut ini semakin hari akan semakin membuncit. Aku tidak ingin membiarkan perut ini menjadi sumber pertanyaan setiap orang, bahkan sekali pun Fanessa dan Rena. Aku tidak pernah menyanyikan lagu-lagu indah untuk jabang bayiku. Ada bahasa lain yang lebih tepat, yaitu tangisan. Aku menyambut setiap harinya dengan tangisan, sesampai mataku yang cantik, yang dulunya dipuji setiap lelaki menjadi bengkak tidak segar lagi.
‘Don, kalau ada apa-apa please lah cerita sama kita, di sini lu nggak sendiri”. Saat mereka membujuk untuk mengatakan semuanya, aku tidak yakin mereka akan berteman lagi denganku jika aku katakana sejujurnya. Tubuh ini rasanya menjijikan, aku sendiri memalingkan dari tubuhku. Jabang bayiku menjadi tumbal kekacauan hidupku. Aku memang pandai berakting, gerak-gerikku jarang terbaca oleh manusia di dunia ini. Kini selain aku dan Tuhan yang tahu segalanya, ada juga jabang bayiku, dan arwah ibuku yang selalu mengintai gerak-gerik setiap hari-hariku. Romansa aku dan Pandu sudah musnah, ia ingin mengubur dalam-dalam semua cerita yang usai.
“Aku mohon gugurkan, ini akan menjadi aib untuk keluargaku, kalau kamu sih memang sudah hancur keluarganya, pasti kamu tidak malu, tapi kalau aku?, aku mohon sayang gugurkan, aku akan menikahimu setelah studimu selesai”
Pesan itu  menyimpulkan kebajikan palsu pada dirinya, menyiratkan pengkhianatan semu yang membuat bayi di dalam perutku tertawa geli.  Hari-hari yang pahit menebar luka baru, menyingkap duka yang bersemayam di dalam hidupku.  Sebersit semangat membangkitkan kesengsaraan saat anak ini mulai-mulai menendang-nendang perutku. Ia mungkin tidak sabar ingin melihat dunia.  Saat aku duduk di depan cermin aku melihat bibir-bibir ini seperti sekuntum bunga mawar yang tanggal karena terbawa angin, dan layu karena terpapar sinar matahari.  Aku berjanji pada anakku tidak akan melukainya, aku akan membawa ia kembali ke surga, dengan wajah gembira tidak kusam seperti takdirku ini.
~~~
Tepat pada pukul 4 sore orang-orang  beramai-ramai menatap tubuhku. Tubuhku tergelatak tak utuh di sela-sela rel kereta, tangan kiriku menjauh dari tubuhku, sedangkan kaki kiriku remuk, tubuh lainnya utuh. Wartawan memotret-motret diriku dari segala sisi, depan, samping, belakang, dan sebagian dari mereka juga memvideo. Semua berita mengabarkan tentang kematian diriku. Aku pun  terkenal hingar-bingar di seluruh penjuru negeriku. Bayiku kembali ke surga, sementara aku tertatih-tatih mengejar langkah kaki kecilnya, tetapi aku tidak bisa. Malaikat itu mencegahku, ia bersikeras melemparku ke Jahanam. Aku merintih dan merintih, rintihan ini lebih lara katimbang di dunia.  Dengan berita kematianku itu Pandu Nampak lebih bahagia, bahagia karena tidak perlu repot-repot menanggung aib, sekaligus harap-harap cemas jika kelak arwahku menggentayangi hari-harinya. Sedangkan Fanessa dan Rena cegugukan mengucurkan air mata. Ia memeluk erat setelah tubuh ini diautopsi. Aku berharap bapakku yang memeluk kematian kedua-ku ini, sayangnya tidak. Aku melihat adikku yang terdiam membisu, diam adalah bahasa paling dalam, ia meratapi, ia lebur ketidaktahuan dalam kehampaan dan kekosongan jiwanya.
Sebelum aku menabrakkan diri di depan kereta aku melihat banyak pasang kekasih yang bercumbu tawa di  sekeliling jalanan itu. Aku berharap, dan aku berdo’a tidak ada Pandu lagi dalam dunia ini, juga tidak ada lagi Donita yang seketika di malam hari menjelma menjadi iblis yang bersimbah dosa.  Dedaunan itu pastinya mengamini do’aku,  setiap pagar toko-toko yang  melambai mengucap selamat tinggal sebelum ajal menjemputku juga mengamini. Selamat tinggal perihnya dunia, dan selamat datang perih selanjutnya, meski aku tidak berharap sebuah perih-perih lainnya, namun apa daya malaikat itu mencatat setiap pergolakan hidupku.
The End.

Thanks yang udah baca cerbung yang berjudul “Dendam” dari awal sampai ending, semoga dapat memetik hikmah dari cerita tersebut. kritik dan saran ditunggu, see you again ;)

Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang