Dendam Part 14 (Menuju PintuNYA)



Harum bebungaan itu bercampur sumilir angin  ketika aku dan rombongan lainnya memasuki arena pekuburan. Aku melihatnya dimasukkan ke dalam tanah  dan dibacakan do’a-do’a. Aku melihat banyak mata bengkak mengiringi kematian ibuku. Sedangkan aku merasakan ada tatapan aneh, tatapan aneh itu semacam arwah ibuku yang ingin melihatku untuk terakhir kalinya, wajahnya cerah, sinar bola matanya terang, bibirnya tersenyum manis, tatapan itu seakan membelai kesedihanku, memeluk keheningan hatiku. Hingga beberapa hari kemudian setelah kematian ibuku aku merasa tarikan nafasku terasa berat. Fanessa dan Rena selalu membujukku untuk mencoba tersenyum kembali melalui chat, ia pun kemarin juga sudah melayat kesini. Mereka menawarkan banyak keindahan pada hatiku yang remuk. Tetap saja semuanya tidak dapat teralihkan. Untung saja adikku diasuh oleh tante Risma, setidaknya aku lebih tenang daripada harus membiarkan ia di rumah bersama bapakku dan kakakku itu.
~~~
Adikku menceritakan segala hal terakhir sebelum ibuku menghempaskan nafas terakhirnya, dengan isak tangis adikku terbata-bata mengatakannya . Ibuku terjatuh karena didorong kakakku, ia terbentur kursi sehingga kepalanya yang suci harus berlumur darah karena kerasnya hantaman itu. Berawal dari kakakku ketika malam hari pulang membawa seorang wanita, ia kelihatannya mabuk karena jalannya sempoyongan. Adikku mengintip dari balik pintu kamar. Adikku sama sekali tidak mengerti percakapan diantara mereka, suaranya samar-samar seketika adikku menjerit saat akhirnya ibu terjatuh dan kepalannya membentur kaki kursi sekeras mungkin. Kakakku mengancam adikku jika saja ia melaporkan peristiwa itu pada siapa pun. Jelas saja tidak ada yang mengetahui kejadian itu karena rumahku terlampau jauh dari tetangga, sedangkan teriakan adikku tidak menjangkau ke rumah lainnya, dan bapakku pergi ke rumah tetangga entah siapa, temannya atau mungkin janda baru di seberang desa. Pengakuan adikku lenyap bersama ancaman itu. “Ibu terpleset lantai yang licin ketika ingin duduk di kursi” katanya saat ditanyai oleh para tetangga, oh sungguh adikku yang malang ia harus menanggung rahasia kematian ibuku, ia hanya berani menceritakan padaku. Aku tidak dapat membayangkan bagaimana mentalnya terguncang, sungguh matanya yang polos sudah ternodai kebusukan-kebusukan yang selalu terjadi di neraka rumahku.
~~~
Aku pun menyimpan dengan rapi perihal itu, bagaimana bisa aku menyampaikan aib itu bersama sahabatku. Oh tidak. ! aku akan terlihat sangat malang dan wanita paling menyedihkan di dunia ini jika aku membongkarnya. Aku pikir ini sebuah kebodohan, sebuah pikiran yang kolot. Tentu saja aku takut jika aku berusaha mengusut kasus ini tetapi tanpa bukti khusus, adikku saja tidak cukup, ia akan terbungkam karena ancaman, dan bapakku tentu akan membelanya.
~~~
Aku kembali untuk melanjutkan studiku, aku sudah mengambil libur seminggu.
“Hai Don, keep smile, please” kedua sahabatku tidak mengerti arti senyum sebenarnya. Ia tidak tau pasti air mata yang mengucur dari hatiku. Sebuah perasaan dendam yang tumbuh subur di relung jiwaku. Sementara itu Pandu telah kembali ke rumahnya. Aku sudah tidak bisa menemuinya lagi, dan malam yang indah itumungkin hanya akan terjadi sekali dengannya, untuk yang pertama dan untuk yang terakhir. Ia lelaki setengah tanggung jawab, ia menanyaiku, perihal kematian ibuku, kuliahku dan sebagainya, tapi ia tidak pernah mengungkit lagi malam itu.
~~~
“Don, muka lu pucet banget, periksa ke dokter yuk !” bujuk Rena dengan muka merayu. Tapi tentu saja tidak mau, aku  akan menerima beberapa resiko jika aku benar-benar periksa ke dokter dengannya.
~~~
2 bulan sudah aku mengenang ibuku setiap waktu, mengingat tangan kakakku mengakhiri nafas ibuku. Keheningan malam mencekam dan aku melihat warna maut meredup dalam jiwaku. Rohku mencari kebebasan sejenak untuk menghentikan permasalahan yang berputar. Rohku menarik-narik waktu yang lalu. Membayangkan bagaimana ibu  dipagi hari sibuk bersiap ke ladang, memikirkan kala ibu sakit berteman dengan ranjang selama beberapa tahun. Ah roh jiwaku, roh jiwaku tidak tenang, tidak setenang senyuman ibu saat aku melihat di pekuburan itu. Meski tubuhnya dibalut kain kafan, tapi hatinya hangat memeluk kekalutan diriku.
“Donita, aku melihatmu bagai hari yang ditinggal oleh sinar mentari, gelap, dingin, dan tanpa arah. Tenangkan dirimu”
“Ibu..Ibu.. Ibuuu.. !!!!”
PERSETAN.. ternyata itu hanya mimpi, kenapa ia secepat itu menghilang, belum sempat aku membicarakan padanya bahwa sebentar lagi ia memiliki seorang cucu. Meski jabang bayi ini merintih merindukan kecupan ayahnya. Katakan padanya serta tagihkan janjinya beberapa hari yang lalu “Aku akan bertanggung jawab atas malam itu” Pandu mengirimkan pesan singkat itu setelah aku memberitahukan semuanya perihal air maninya yang akan menjadi nyawa dalam perutku. Semenjak tiga hari setelah itu nomornya tidak aktif, sedangkan jabang bayi ini semakin meringkih merindukan ayahnya, sedangkan aku merindukan ketenangan dalam diriku.


Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang