Dendam Part 13 (Air Mata Yang Mengering)



Kesepian yang menjalar padaku setiap harinya tidak pernah nampak dibenak orang-orang disekitarku sekaligus Fanessa dan Rena sahabatku, bahkan Pandu yang sekarang sedang berada satu kota denganku. Aku pintar menyimpan bangkai busuk ini, sekalipun baunya menyengat tidak enak dihirup, tetapi aku berhasil menyembunyikan rapat-rapat dalam palung jiwaku yang terdalam. Apakah mungkin aku kurang bersyukur? Atau aku terlahir sebagai musuh Tuhan? Ah tentu tidak, tidak, sekali lagi tidak. Aku teramat lelah dengan halaman-halaman kehidupan yang palsu. Aku tertawa bahagia, aku tersenyum manis di depan mereka, dan ya itu hanya semu. Hanya mata batin yang dapat menembus perasaanku yang sebenarnya.  Aku merenung dalam kesedihan yang bisu, penderitaan yang kian lama membara bagai api neraka.
~~~
Sejak hari itu aku berkabung setiap malamnya. Aku memakai baju duka cita disepanjang harinya. Pelukan Pandu malam itu teramat syahdu menghangatkan seluruh raga, termasuk jiwa. Aku mengalirkan segenap air mata ditubuhnya. Hatiku remuk, aku mengingat perihal ibu. Ibu adalah nyawa kedua setelah nyawa asliku yang diberikan oleh yang Maha Esa.  Kehampaan menyertai dalam hidupku. Sebuah penderitaan menyelinap membubuhi setiap detikku, tiap kali aku mengusirnya, tiap kali ia menolaknya.
“Bersabarlah” kata Pandu lirih diujung telingaku. Aku memeluknya bagai malaikat surga yang sengaja Tuhan turunkan untukku. Sedangkan aku menjadi iblis seketika dalam hidupnya.
Aku merengkuh menangisi segalanya, tangisan paling pilu dalam sejarah hidupku. Sungguh aku tidak ingin menangis seperti ini. Aku dilanda luka yang habisnya jika kiamat tiba. Kesedihan itu membunuh segala hasratku untuk hidup kembali. Rasa sakit itu membuatkan kolam durjana dalam perjalanan hidupku. Belum mampu mulutku untuk menceritakan segalanya. “Sabar “ katanya sekali lagi. Aku terhanyut dalam pelukannya. Malam yang dingin saat itu, usai begitu saja mengikuti mataku yang mulai mengantuk lelah mengeluarkan air mata. Sejatinya setetes demi setetes air mata itu keluar karena cinta yang murni.  Pandu sengaja membiarkan aku tertidur dipelukannya malam itu, sedangkan aku tidak pernah berpikir perihal norma, semua kesedihan yang terjadi melantakkan semua rasa dalam kehidupanku.  Angin berdesir pelan memasuki lubang-lubang kecil di atas jendela kamar Losmen yang dihuni Pandu.
~~~
Mataku kering karena airmata itu sudah habis menangisi perihal ibuku. Aku mengadu keletihanku terhadap Pandu. Aku merasakan perasaan yang luar biasa sehingga aku tidak mampu menggambarkannya melalui tulisan. Malam itu aku menemukan keindahan yang lain, aku melihat Pandu sebagai lelaki jantan yang benar-benar jantan. Aku memainkan sesuatu dengan ritme yang halus, nadanya perlahan melupakan kesedihan. Tanpa hubungan yang jelas, aku dengannya menjadi iblis durjana di dunia. Keesokan harinya keindahan itu hilang bersama datangnya fajar, ketika sinar cahaya dari langit mulai tiba seketika mataku yang kering mulai basah lagi, lagi, dan lagi. Keindahan semalam menjadi cambuk tajam yang menyiksa punggungku menjadi lara yang tidak akan hilang membekas seperti halnya perasaan anehku terhadap keluargaku yang tidak pernah enyah.  “Engkau yang memulai segalanya” katanya lagi dengan lirih. Perkataan itu menjadi halilintar yang siap mematikan hidupku. Hatiku seolah  teriris pisau seusai diasah oleh pemiliknya. Aku berniat menghubungi Fanessa dan Renna “tidak” kata dalam hatiku. Aku segera mengemasi pakaianku, aku pulang menuju kampung halaman.
~~~
Setiap jalan yang aku lihat pada waktu itu adalah bayangan hitam, setiap pernak-pernik yang ditawarkan di dalam bus tidak berarti bagiku. Suara kencang kondektur bis itu sama sekali tidak mengguncang pendengaranku. Telingaku sudah tuli mendengar keras jeritan-jeritan kehancuran pada diriku sendiri. Ragaku dijejali perasaan gelisah, resah, dan segala rasa pahit lainnya. ini sebuah kematian pertama dalam hidupku sebelum Tuhan mencabut nyawaku secara pasti. Pandu kaulah malaikat penyabut nyawaku pertama sebelum tangan Tuhan bersiap ingin menghakimi diriku. Aku ingin mengutukmu sebuah wabah derita seperti yang aku alami, tetapi aku tau kepedihan semacam ini adalah sebuah bencana, bagaimana aku tega. Aku mengingat segala kebaikan yang kau ulurkan semasa kecil, semasa aku ingusan dan tidak memiliki teman. Lalu aku harus bagaimana? Katakan padaku? Aku takut seandainya keindahan tadi malam menghadirkan sebuah nyawa lain yang bukan hasil percintaan, melainkan kepedihan dan nafsu yang dibisikkan oleh setan. Aku menjadi anak terkutuk sepanjang zaman. Bahkan aku menghadiahkan ibuku sebuah petaka, petaka yang akan menghantuiku setiap harinya. Ibuku yang malang, sekarang matamu sudah tertutup rapat melihat indahnya istana surga, aku ingin bercerita tetapi telingamu sudah tuli, engkau sibuk melihat nyanyian lagu-lagu surga yang diiringi kebajikan, dan tanganmu yang biasa menuntunku sudah kaku. Rasanya aku ingin terpingkal-pingkal menertawai diriku sendiri yang menggelikan.
~~~
Aku menyaksikan ibuku dibalut kain suci, dibaringkan diantara tetangisan.  Do’a-do’a menghantarkan ibu. Aku mencium aroma surgawi dari tubuhnya. Aku menangis tersedu-sedu, bukan hanya karena kematian ibuku, tetapi alasan dibalik kematian ibuku. Aku ingin membunuh seseorang untuk menemani ibuku diperjalanannya menuju surga, namun aku ingin saat ibuku menyebrang jembatan sirotul mustaqim biarkan ibuku sampai di pintu surga dan membukanya, sedangkan orang yang ku bunuh itu terjatuh di kobaran panasnya api neraka. Biar saja ia menjadi kayu neraka dan bahan api disana.



Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang