Dendam Part 11 (Memories)




Tidak cukup sampai disitu, kataku. Aku bahkan ingat persis pada suatu malam. Malam yang manis, suara jangkrik-jangkrik terendus, bintang-bintang  tersenyum di langit, rembulan bersinar terang. Aku yakin setiap orang akan  terpukau dengan malam itu, tapi tidak  denganku. Aku membenci malam itu, saat mataku mulai terkantuk aku mendengar dari kamar sebalah utara, yaitu kamar orangtuaku. Aku tidak mendengar di antara mereka sebuah  keromantisan, apalagi desahan percintaan. Aku mendengar sesuatu yang membuat hatiku teriris. Aku bergegas bangun dari kasurku. “Oh Tuhan” hampir saja aku dibuat jantungan, ibuku sudah berniat bunuh diri. Ia memasukkan leher dalam lingkar selendang yang ia tali untuk memutus hidupnya. Ya aku tau, seberapa intensnya mereka cek-cok setiap hari, entah mengenai apa saja, atau persoalan  kakakku yang nakalnya luar biasa. Aku memeluk ibukku, dan menangis setengah mati. Tangisku tersedu-sedu, bahkan aku tak sanggup untuk bicara sepatah kata pun. Meski bapakku sering beradu argumen untuk menentukan siapa yang menang. Ia menahan ibuku, “Jangan !” katanya. Tidak ada kata sayang, atau pancaran cinta dari matanya. Yang aku ketahui adalah mungkin ia takut jika saja ibuku benar saja meninggal karena gantung diri di kamar maka tentu saja bapakku  akan hidup di balik jeruji. Aku tidak tau persis apa masalahnya waktu itu. Hatiku berdesir, jantungku berdetak semakin melemah, kalut, tidak seindah malam yang benderang penuh rembulan dan bintang. Bahkan adikku kala itu sudah nyenyak dalam mimpinya, mungkin ia bermimpi dalam  pelukan bidadari surga, atau hal-hal indah lainnya.  Bukan semenjak itu saja perasaan yang menganggu jiwa ini tumbuh. Aku takutnya ini adalah sebuah dendam. Dendam yang datangnya berkepanjangan, sepanjang umurku di dunia.

Huffttt.. aku menghela nafas lega di sela isak tangis ibu. Aku mengajak ia tidur di kamarku. Seperti bahasa wanita, kita saling berpelukan, tanpa kata, tanpa suara, kecuali tangisan, yang jelas aku sudah lega nyawa ibuku aman. Hmm.. Aku merasakan sesuatu yang aneh, dan  perasaan aneh ini semakin tumbuh subur, semacam kebencian, kutukan terhadap diriku sendiri. Aku benar-benar tak habis pikir. Andai saja takdir ini aku geser, kemudian aku akan mencoba takdir lain, mengganti dengan hal-hal manis. Contoh kecil saja misalnya diajak oleh mereka, “ orangtuaku” jalan bersama. Linangan air mata ini mengalir bersama do’a, suara hati “cinta”, dan kebencian yang mengalir. Aku sebut ini sebuah dendam. Dendam terhadap hidupku sendiri.

~~~

Oh Tuhan ingatan tentang beberapa tahun itu masih saja terkenang dalam diriku, benar saja tidak akan kulupakan sepanjang waktu, bahkan sepanjang umur ragaku menginjakkan bumi. Untung saja aku mendapatkan beasiswa untuk studiku, andai tidak, aku akan menjadi seonggok sampah, atau pelacur murahan yang menjajakan tubuhku demi rupiah. “Oh, tidak !“

Perasaan ini membuncah membuatku terpukul. Lagi-lagi, untung saja semenjak aku duduk di bangku sekolah SD selalu menjadi anak emas, Ya, tentu. Aku selalu mendapat peringkat 1 bahkan sampai aku SMA. Pernah dua kali saja mendapat peringkat dua. Aku pikir ini sebagai poin tambahan dari Tuhan yang sengaja ia berikan untuk menambal luka perih yang tak berkesudahan dalam hidupku. Ini sebuah takdir, kebetulan, dan bukan karena aku rajin belajar. Banyak masa laluku yang terlalu banyak menyita waktuku sehingga minim waktu untuk belajar. Pikiran ini terhabiskan oleh masa lalu daripada memikirkan masa depan.   Aku hidup sebagai korban. Korban kerakusan, korban keegoisan manusia, lantas siapa yang akan menjadi hakim di persidangan. Ah bercanda saja. Maksudku siapa yang akan membantuku, membantu hatiku yang letih, pikiranku yang berkecamuk. “Katakan!!”.




Comments

Popular posts from this blog

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Jenis-Jenis Novel

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang