Tidak cukup sampai disitu, kataku. Aku bahkan ingat persis pada suatu malam.
Malam yang manis, suara jangkrik-jangkrik terendus,
bintang-bintang tersenyum di langit, rembulan bersinar terang. Aku
yakin setiap orang akan terpukau dengan malam itu, tapi
tidak denganku. Aku membenci malam itu, saat mataku mulai terkantuk
aku mendengar dari kamar sebalah utara, yaitu kamar orangtuaku. Aku tidak
mendengar di antara mereka sebuah keromantisan, apalagi desahan
percintaan. Aku mendengar sesuatu yang membuat hatiku teriris. Aku bergegas
bangun dari kasurku. “Oh Tuhan” hampir saja aku dibuat jantungan, ibuku sudah
berniat bunuh diri. Ia memasukkan leher dalam lingkar selendang yang ia tali
untuk memutus hidupnya. Ya aku tau, seberapa intensnya mereka cek-cok setiap
hari, entah mengenai apa saja, atau persoalan kakakku yang nakalnya
luar biasa. Aku memeluk ibukku, dan menangis setengah mati. Tangisku
tersedu-sedu, bahkan aku tak sanggup untuk bicara sepatah kata pun. Meski
bapakku sering beradu argumen untuk menentukan siapa yang menang. Ia menahan
ibuku, “Jangan !” katanya. Tidak ada kata sayang, atau pancaran cinta dari
matanya. Yang aku ketahui adalah mungkin ia takut jika saja ibuku benar saja
meninggal karena gantung diri di kamar maka tentu saja bapakku akan
hidup di balik jeruji. Aku tidak tau persis apa masalahnya waktu itu. Hatiku
berdesir, jantungku berdetak semakin melemah, kalut, tidak seindah malam yang
benderang penuh rembulan dan bintang. Bahkan adikku kala itu sudah nyenyak
dalam mimpinya, mungkin ia bermimpi dalam pelukan bidadari surga,
atau hal-hal indah lainnya. Bukan semenjak itu saja perasaan yang
menganggu jiwa ini tumbuh. Aku takutnya ini adalah sebuah dendam. Dendam yang
datangnya berkepanjangan, sepanjang umurku di dunia.
Huffttt.. aku menghela nafas lega di sela isak tangis ibu. Aku
mengajak ia tidur di kamarku. Seperti bahasa wanita, kita saling berpelukan,
tanpa kata, tanpa suara, kecuali tangisan, yang jelas aku sudah lega nyawa ibuku aman. Hmm.. Aku merasakan sesuatu yang aneh, dan perasaan aneh ini semakin tumbuh subur, semacam kebencian, kutukan
terhadap diriku sendiri. Aku benar-benar tak habis pikir. Andai saja takdir ini
aku geser, kemudian aku akan mencoba takdir lain, mengganti dengan hal-hal
manis. Contoh kecil saja misalnya diajak oleh mereka, “ orangtuaku” jalan
bersama. Linangan air mata ini mengalir bersama do’a, suara hati “cinta”, dan
kebencian yang mengalir. Aku sebut ini sebuah dendam. Dendam terhadap hidupku
sendiri.
Oh Tuhan ingatan tentang beberapa tahun itu masih saja terkenang
dalam diriku, benar saja tidak akan kulupakan sepanjang waktu, bahkan sepanjang
umur ragaku menginjakkan bumi. Untung saja aku mendapatkan beasiswa untuk
studiku, andai tidak, aku akan menjadi seonggok sampah, atau pelacur murahan
yang menjajakan tubuhku demi rupiah. “Oh, tidak !“
Perasaan ini membuncah membuatku terpukul. Lagi-lagi, untung saja
semenjak aku duduk di bangku sekolah SD selalu menjadi anak emas, Ya, tentu.
Aku selalu mendapat peringkat 1 bahkan sampai aku SMA. Pernah dua kali saja
mendapat peringkat dua. Aku pikir ini sebagai poin tambahan dari Tuhan yang
sengaja ia berikan untuk menambal luka perih yang tak berkesudahan dalam
hidupku. Ini sebuah takdir, kebetulan, dan bukan karena aku rajin belajar.
Banyak masa laluku yang terlalu banyak menyita waktuku sehingga minim waktu
untuk belajar. Pikiran ini terhabiskan oleh masa lalu daripada memikirkan masa
depan. Aku hidup sebagai korban. Korban kerakusan, korban
keegoisan manusia, lantas siapa yang akan menjadi hakim di persidangan. Ah
bercanda saja. Maksudku siapa yang akan membantuku, membantu hatiku yang letih,
pikiranku yang berkecamuk. “Katakan!!”.
Comments
Post a Comment