Dendam Part 9 (Ah Sudahlah)
Kakiku bergontai di atas lantai, mataku samar-samar melihat ruangan, dinding bercat hijau itu seolah menjadi kodok-kodok yang mengadakan perkumpulan atau pesta dansa; lututku memar biru lebam. Mataku nanar, kemudian berlinang derai air mata lagi-lagi mengadu pada baju yang aku kenakan selain pada seluruh pipiku.
“Hai bangsat, aku kutuk kau sengsara seumur hidupmu”
“Hah, ?apa ?bilang apa kau wanita anjing?”
Pertanyaan itu menampar keras pada gendang telingaku, aku
ingin meraih gelas yang bercecer di meja di antara piring, mangkok, dan sendok
serta perkakas lainnya dan melemparkan kearah wajahnya. Ibuku sengaja belum
merapikannya. Ya jelas belum ! bagaimana mungkin membereskan hal-hal semacam
itu. Ibuku sekarang sudah sehat dari penyakit menahunnya dan sibuk pergi
ke ladang. Pagi buta ketika fajar mulai mengantuk ibuku sudah
memasak terlebih dahulu, kemudian tepat ketika ayam-ayam berkokok cepat-cepat
ibu menyiapkan selendang bercorak lurik, menyiapkan sabit, dan keperluan sawah
lainnya. Jelas ia rajin begitu;bapakku sibuk menyesap-nyesap rokok di rumah,
dan bermain-main dengan beberapa burungnya yang ia kurung dan pajang di depan
rumah begitu saja.
“Ah bodoh sekali dia” pikirku waktu itu ketika melihat
bapakku memberi pisang kepada burung-burungnya.
“Bagaimana bisa ia
membiarkan aku kurus kerontang kelaparan sementara burungnya gemuk, dan
kelihatannya cukup berbobot dibandingkan aku.
“Ci cu cuitt… cuitt… “ dengarkan saja tingkahnya yang
agresif, bahkan bisa menirukan ucapan bapak meski artikulasinya tidak jelas
seperti artis idaman banyak orang
~~~
Ya. ! tepat ketika hari mulai remang-remang ibuku izin pergi
membawa adikku ke rumah nenek. Aku duduk termenung dikursi ruang tamu. “Ah
kenapa tidak aku saja yang diajak” pikirku. Aku menyantap nasi liwet yang masih
panas dikombinasikan dengan sup segar yang baru saja dimasak ibu sebelum keluar
dari pintu yang mulai usang itu. Sementara kakakku sudah sedari siang
pergi setelah puas memukul kepalaku dengan sandalnya;ia pergi dengan motor
kerennya yang ia minta dengan tangan kasar;Tidak kasar lagi, bahkan sangat
kejam. Ia menodongkan parang peninggalan kakek dahulu persis diwajah bapak dan
ibu. Terpaksa ibu berhutang dan membelikannya daripada ia mati ditangan anaknya
sendiri, apa kata orang disana katanya ketika ibu memberitahuku.
Mungkin ketika itu umurku 11tahun, tidak ! bahkan belum
genap, kurang 2 minggu lagi. Pemuda bejat teman kakakku itu datang
mengetuk-ngetuk pintu;ah tidak seperti mengetuk-ngetuk pintu, tapi ia
menggedor-gedor dan memanggil-manggil nama kakakku seperti orang mabuk berjalan
sempoyongan.
Sebagai tuan rumah yang baik aku mempersilahkan dengan
manis. Aku suguhi 1 teh manis dan beberapa kue sisa acara kemarin. Tetapi ia
seperti orang kerasukan, awalnya duduk agak jauh, namun setelah adzan isya’
telah usai ia belum pulang juga dan terus duduk mendekati ke arahku, bahkan
jaraknya tidak ada sejengkal tanganku. Aku semakin tidak mengerti;sementara
bapakku hanya lewat untuk berjalan keluar rumah kemudian menawarkan rokok
padanya.
Mugkin jika aku sudah dewasa aku akan mengatainya sangat
kasar. “Bajingan kau" misalnya.
“Apa yang ingin kau lakukan padaku?” ah tapi pertanyaan itu
hanya dalam batinku. Aku benar-benar masih dini kukira.
Teman kakakku bernama Roy ini mengajak berbicara
basa-basi;mengenai sekolahku, peringkatku, dan semua tentangku. Bahkan ia
sangat kurangajar bertanya lantang
“Apa kau sudah mengenakan bhra?”
Aku tetap tidak bisa berkutik, seperti tertimpa langit yang
teramat luas, tetapi aku tidak mengerti apa yang terjadi. Kemudian…. Huftt… Aku
menarik nafas dengan ritme tersengal-sengal jika harus mengingat itu. Seolah
dunia terasa sendu, bumi menghimpit erat tubuhku sesampainya aku tidak
bernafas. Mati bukan, tetapi hidup pun rasanya tidak.
Ahsudahlah, kalau saja ..
Huftt aku menarik nafas lagi, lagi, dan lagi hingga
benar-benar aku bernafas lega dan dapat menyambut kehidupan yang layak untuk
aku mengerti.
Comments
Post a Comment