Dendam Part 8 ( Indonesia dan Donita)
Donita dan teman sekalasnya patuh saja mengikuti perintah dari dosen, segera membuka buku halaman 31 yang sudah siap di meja masing-masing. “Grekkkkkk “ suara pintu, ah ternyata ada manusia yang datang tanpa permisi Sultan masuk kelas, tanpa perasaan bersalah Sultan mengucek-ucek matanya, mengusap-usap mukanya yang kucel. Semua orang yang berada di ruangan 303 lantai tiga menengok memusatkan pandangan matanya ke arah Sultan, untung saja dosen sedang berada di toilet. Sebagian orang di kelas mengolok-olok Sultan karena mukanya kusut, mereka yakin Sultan belum mandi, Sultan seperti iblis tak berdosa, Sultan tersenyum nyinyir, meski memang sebenarnya bibirnya terlihat manis;mukanya seolah tak berdosa, ia tidak segera membuka buku yang seharusnya ia kerjakan, Sultan menundukkan kepala, meletakkan tangan kanannya di atas meja, persis raut wajah manusia setelah bercinta semalaman, lunglai dengan kepuasan hakiki seperti yang dilihat Donita pada adegan film-film barat.
“Uhuk, uhuk.. “ suara batuk perempuan dari luar kelas,
yaitu tepat di depan pintu.
Aku melongok, oh Bu Ita telah kembali memasuki ruang
kelas, waktu mengerjakan tinggal beberapa menit lagi, Fanessa membisiki
telingaku
“Hei lihat Don, Si tukang telat itu bahkan belum mengorek-orek soalnya”
aku bersikap cuek saja
“Terserah, toh dia sudah
tau apa harus dia lakukan” ujarku.
Fanessa masih menggeleng-gelengkan kepalanya dan keheranan, ia
sering menyebutnya si kunyuk, atau tukang telat. Sultan memang begitu, sekelas
juga sudah paham betul, ia selalu datang terlambat, dengan mata indahnya yang
kecoklatan terkantuk-kantuk, bau rokok pada bajunya yang menyengat, rambut
gondrongnya yang tidak bisa diprediksi kapan terakhir ia keramas. “Pantas saja
jomblo, siapa yang betah duduk di sampingnya, jarak 2 meter saja bau rokoknya
masih menyesap diparu-paru” ejek Rena. acapkali kita membicarakan tentang
anak-anak di kelas. Ya begitulah Sultan yang sibuk tongkrong di warung kopi,
pagi menjadi malam, malam menjadi pagi, berangakat malam dan pulang disaat
fajar mulai melesat ke bumi, hanya tidur beberapa jam saja kemudian langsung
menuju kampus. Atau bahkan dari warung kopi langsung kuliah dengan tampang apa
adanya dan tanpa wewangian parfum, mandi pun segan. Ah tidak penting aku
membicrakan temanku yang satu ini, mungkin karena terlalu jorok, tanpa sengaja
aku harus membicarakan tentangnya.
~~~
Akhir-akhir ini memasuki musim pancaroba, siang-siang saja sudah
kedatangan hujan. hujan hari ini sangat lebat, gemuruh guntur
bersahutan seperti diperintahkan dengan tegas dari atasannya. Beberapa selokan
di kampus dan jalanan sekitar meluap karena tidak mampu menampung
air hujan yang melimpah ruah. Begitulah negeriku, hehijauan yang
harusnya menyerap air mulai berkurang, pohon-pohon sekarang sudah berbeda,
bukan akar, batang, dedaunan, dan buah segar. Jaman yang sangat
berbeda, dan lain lagi, kini akarnya adalah besi-besi, atau beton
yang yang tebalnya berapa inchi, batangnya tembok-tembok yang warnanya
menyilaukan mata, dengan sengaja dihiasi supaya menggoda jiwa, buahnya pun
antik dan mewah, busa-busa tebal, Ac, makanan siap saji, kolam
renang, dan banyak buah segar lainnya yang rata-rata hanya orang kaya yang
sanggup menanam atau menikmati pohon itu. Kalau pun tidak, pohon-pohon,
rumah-rumah kecil habis terbabat kaum berdasi disulap menjadi pusat
perbelanjaan yang tiada kata sepi, bahkan dimalam hari. Namun sayangnya hanya
orang mampu yang membeli disana, atau orang yang berpura-pura kaya yang sering
kesana, atau gadis jalang yang sengaja memperjual-belikan tubuhnya. Karena
kalau dilihat dari bandrolnya saja kaum tidak berduit akan terheran-heran melihat
harga yang tertera. Tapi aku sudah tidak heran, jaman menuntut seperti ini,
atau gengsi menuntut diri menjadi begini, ah apa maksudnya?? memang tidak bisa
diperjelas apa maksudnya, ya memang begitu. Tetapi aku masih bisa menghela
nafas dengan khusyuk. Di desaku, sekitaran rumahku, banyak tumbuh-tumbuhan liar
yang sengaja dibiarkan, setelah mulai tinggi baru akan
dibabati untuk pakan ternak;sapi, kambing, atau kerbau yang rajin membajak
sawah kemudian tumbuhan itu akan tumbuh lagi seiring berjalannya waktu dan
begitu seterusnya. Banyak juga pepohonan yang masih tegak berdiri di antara
jalan-jalan dari desaku menuju pasar. Meski tidak aku pungkiri, di desa itu ada
rumahku, dan rumahku itu aku juluki neraka, kenapa neraka? Aku tidak ingin
menceritakan bagaimana tentang kehidupan di neraka, aku pikir di dalam manusia
punya persepsi tentang neraka yang berbeda-beda; yang jelas itu pasti pedih,
kesengsaraan, dan berkaitan dengan hal-hal buruk. Cukup ! aku tidak sanggup mengungkit-ungkit
diriku sendiri. Sengaja aku enggan menceritakan, hatiku masih terlalu tangguh
menyimpan dengan baik dan menyiasati perasaanku. Meskipun banyak ribuan rasa
yang aku miliki, tidak sampai seribu, karena ternyata hanya ada
beberapa rasa saja. Ya aku hanya menganalogikan.
~~~
Berjam-jam aku menunggu hujan usai, aku duduk bersila bertiga
diantara meja, sengaja aku tidak memilih duduk dikursi, tetapi di karpet. Aku
bisa berileksasi dan terus berbincang santai dengan Fanessa juga Rena. Kita
sibuk berdiskusi, berbagai hal, mulai perihal cowok idaman, wanita berkarir,
dan yang paling inti kita membicarakan masalah kemacetan di negeri ini. Aku
duduk di lantai tiga, jarak pandang mataku masih bisa menggapai jalanan yang
berisik, berlomba-lomba membunyikan klakson, atau sekilas terlihat samar mata
yang sinis, bibir yang cemberut karena kemacetan. Lagi-lagi, dan tidak
akan henti-henti problem ini tak kunjung sirna. Berbagai upaya pemerintah
lakukan, dan telah mengeluarkan dana yang besar untuk sarana prasarana,
termasuk pembangunan tol yang bertujuan mengurangi kemacetan, tetapi sama saja,
macet masih terjadi dan terjadi. Aku sempat berpikir mungkin banyaknya populasi
manusia yang terus bertambah, atau mungkin penduduknya semakin kaya-raya,
sehingga setiap orang menaiki mobil dan enggan menggunakan kendaraan
umum karena dianggap kumuh, memakan waktu, atau tidak simpel, dan lain
sebagainya. Ohh.. atau mungkin saja perkeluarga memiliki sepeda motor
sendiri-sendiri, bahkan meski masih berusia dini, SD kelas 3 mereka
berbondong-bondong menunjukkan kelincahan menyetirnya sehingga jalanan tampak
sesak dipenuhi kendaraan pribadi, bahkan mobil yang berisi satu orang saja, dan
kendaraan umum terlihat agak sepi karena masih dianggap tidak nyaman dan lain
sebagainya. Aku tidak tau persis kenapa, dan apa penyebabnya, yang jelas
kemacetan itu masih menjadi fenomena yang nyata di negeri ini.
“Jalan tol di Indonesia pertama kali dibangun sekitar tahun 1973
yang memiliki rute Jakart-Bogor. Jalan tol ini memiliki panjang 59 km yang
diresmikan oleh Pak Soeharto pada 9 Maret 1978”
“Hebat sekali kau Fanessa ! elu bisa tau hal-hal begituan “ sahut
Rena bernada memuji
“Pada periode itu pembangunan jalan tol masih
sepenuhnya dipegang oleh negara, namun memasuki 1978 banyak oknum swasta yang
mulai berinvestasi yang ditandai oleh penandatangan perjanjian kuasa pengusaan
dengan PT Jasa Marga dan lainnya. Kemudian memasuki periode 1995-1997 adanya
percepatan pembangunan jalan tol melalui tender 19 ruas jalan tol sepanjang 762
km, kemudian pada tahun 1997 pembangunan ini mandek akibat
krisis moneter.”
“Terus… terus “ aku tidak sabar menunggu informasi selanjutnya
dari Fanesa.
“Kalau terakhir kali aku baca di buku sih ada 5 jalan
tol terpanjang di Indonesia, pertama jalan tol Cipularang (54 km), kedua jalan
tol lingkar luar Jakarta yang memiliki panjang 64 km, terus ada lagi jalan tol
Jakarta-Cikampek sekitar 83 km, terus jalan tol Jakarta-Merak 98 km, dan yang
terakhir jalan Tol Cipali nah ini sangat panjang guys.. panjangnya yaitu 116,75
km. udah ah aku capek ngomongnya, banyak informasi sebenarnya, tapi kayaknya
besok saja lagi.”
Fanessa menceritakan dengan sangat luwes menggunakan referensi
buku yang pernah ia baca layaknya mahasiswa yang brilian
mempersentasikan di depan dosen. Udara dingin yang menyengat semakin
terasa menyesap di semua pori-pori tubuh meski sudah terbalut rapat kain, hujan
mulai reda, kita cepat-cepat berjalan menuju parkiran sebelum hujan itu akan
menghentikan kepulangan kami lagi dari kampus.
Comments
Post a Comment