Dendam Part 10. (Toloonggg..... !!!)



Fanessa merajuk padaku untuk menemaninya pergi berbelanja. “Ok” kataku.  Hari itu tampak terang, sinar mentari tersenyum riang di antara birunya awan.  Aku mengendarai sepeda motor bersama Fanessa menuju mall terdekat dari kampus. Ya memang sengaja  hari ini hanya berdua saja, tidak bersama Rena;Ia sedang sibuk ngedate dengan seseorang;aku pikir ini tidak penting juga untuk aku perbincangkan.  Siang yang terang dengan pemandangan jalanan yang sesak dipadati sepeda motor, mobil, dan segala jenis kendaraan lainnya;termasuk  orang-orang yang mengendarai sandal jepitnya;yang berjalan dengan sabar ingin menyebrang dari trotoar.
“Akhirnya sampai juga “
Segera Fanessa dan aku melepas kancing jaket satu persatu serta meletakkan helm pada batang spion. Fanessa memang gadis yang kaya;jadi wajar saja ia banyak membeli barang-barang branded;sementara aku? ya cukup menemani saja!. Untung saja Fanessa royal. Ia menraktirku makan siang yang sekaligus aku sebut ‘sarapan’. Tentu karena ini makan pertamaku di hari ini.  Bukan karena ngirit juga; mungkin ini semacam tradisi bagi anak kos yang mencampur adukkan arti sarapan dan makan siang. 
~~~
Sebenarnya aku terpincut banyak barang. Lihat saja baju-baju anggun yang sengaja digantung, makanan komplit sengaja dijajakan, belum lagi hal-hal lainnya.! Hal itu terkadang membuat aku iri kepada temanku yang satu ini. Ya Fanessa ! siapa lagi, tentu ia dapat mengabulkan segala hal yang ia pikirkan, atau bahkan yang ia imajinasikan. Terlahir dari keluarga yang kaya raya, dilayani dengan manja, dan tentu serba ada. Hal itu lain lagi denganku. Aha ! hal itu mengingatkan aku. Aku yang dahulu kumal karena ibuku sibuk pergi ke ladang, bapakku mencangkul ke desa seberang, dan kakkakku yang enggan pulang, apalagi  ingin mengetahui tentangku. Bahkan untuk sekedar menanyai ketika aku menangis kala itu pun tidak !
~~~
Aku ingat kembali pada sore hari itu. Ya ! saat si brengsek teman kakakku  yang bernama Roy itu berusaha menggagahiku. Tentu saja ingatan itu tidak akan pernah mati meskipun ketika itu aku masih  berumur belasan tahun. Saat mentari terlampau naik ke pucuk langit, jangkrik-jangkrik berkeliaran membunyikan suara. Ternyata aku sama persis dengan jangkrik itu. Ya ! jangkrik itu berbunyi krikk..krikk..krikkk  dengan lantang tanpa aturan nada atau bahkan tidak membentuk melodi indah;sedangkan aku membunyikan suara “Tolonggg..” dan aku akui keduanya sama-sama terdengar tidak indah. Apalagi dengan mulutku yang sadis dibungkam dengan tangan lelaki;keras dan bertenaga.
Untung saja ketika Roy ingin membuka kancing bajukku, segeralah Lek Sarno;Lek, aku menyebutnya seperti kebiasaan yang ada di desa. Lek Sarno menggedor-nggedor pintu depan yang mulai usang berwarna kecoklatan muda  dengan pukulan yang keras oleh tangannya. Namun bukan untuk melabrak kebiadaban Roy malam itu;melainkan  mencari bapakku untuk sekadar menginformasikan kematian seseorang dari desa sebrang.  “Permisi Pak”  lelaki itu memang jahanam. Ia lari kilat  persis maling yang tertangkap basah oleh aparat keamanan.
“Nita, di mana Bapakmu”
“Tadi sedang merokok di teras, sekarang tidak tahu, Pak” kataku mempersilahkan juga sambil mengelus dada dan berkata puji Tuhan. Hampir saja martabatku mati sebelum raga ini dikubur di tanah.  Lek Sarno bak malaikat penolong yang sengaja dikirim Tuhan. Aku sangat berterimakasih dan berhutang jasa kepadanya. Meski ia mengabarkan tentang kematian seseorang, namun aku akui aku sangat bahagia dengan kedatangannya itu. Ternyata memang benar kata orang bahwa “sesuatu yang buruk bagi orang lain, belum tentu menurut orang-lain juga buruk” dan “tidak ada sesuatu apapun yang tidak bermanfaat di muka bumi ini”  Dan “Ya” ! benar sekali.  Kemudian Lek Sarno menitipkan informasi itu kepadaku. Ya! Lek Sarno sedikit heran dengan gelagatku, atau pun kejadian sebelumnya;yaitu ketika Roy tiba-tiba lari begitu saja ketika beliau datang berdiri tegap di ambang pintu. Namun aku pikir Lek Sarno tidak ingin mengintervensi urusanku. Ia pergi begitu saja dengan mata yang masih meninggalkan rasa penasaran apa yang telah terjadi sebelum ia menggedor pintu.
Dinding rumahku seolah menertawaiku, dan pohon jambu yang rindang di depan rumah seperti sengaja melambai-lambaikan daunnya, sedangkan bilik di rumahku terlihat sendu karena terlihat kotor dan miris karena mulai dimakan rayap. Itu semacam ejekan terhadap diriku, tapi bagaimana aku peduli tentang mereka;dinding, pohon, bilik dan bahkan bapakku sendiri tidak ikut  andil dalam urusanku, terutama ketika aku bermasalah.
Bapakku tiba-tiba di hadapanku, ia mangut-manggut. Aku bahkan tidak mengerti apa penyebab bapakku muncul di hadapanku  dan manggut-manggut begitu saja.  
“Lalu kemana ketika Lek Sarno menghampiri ke rumah” batinku. Aku bergegas sesegera mungkin melangkah ke kamar, aku ceritakan semua pada lembar diaryku, aku sudah tidak kuat menahan isak tangis yang hampir saja meluap ketika Lek Sarno kemari. Ya, aku sudah menahan;aku menghabiskan banyak lembar kertas dengan tinta hitam yang aku gores-gores penuh curhatan;murni dari hati, dan murni dengan tetesan-tetesan air mata yang perlahan menghujam, menghantam keras perasaanku, mengguncang jiwaku. Bahkan waktu itu aku berpikir “aku ingin membunuhnya” . Namun sayang, Tuhan melarang, dan aku hanya bisa terdiam. Kepedihan itu masih membekas, aku pikir akan selamanya menghuni hati yang khusus menyimpan kenangan;Ya! Meskipun itu sesuatu yang sangat buruk. Bayangkan saja perasaanku saat itu, aku bahkan percaya hujan malam itu adalah air mata malaikat-malaikat yang menangisi diriku, menangisi kemalanganku. Kesucianku yang hampir saja terenggut termakan malam dan lelaki jahanam. Dan kejadian itu terlalu memaksaku untuk semakin menyisihkan sayang terhadap bapakku. Untung saja kata ustadku bahwa surga di bawah telapak kaki ibu, andai saja di bawah telapak kaki bapak. Sungguh! Aku tidak akan pernah menginginkan surga seindah apapun, bahkan hanya sekedar mencium baunya saja aku tidak sudi.
~~~
Hey Girl, ngapain melamun?”
”Ah tidak, aku terpukau saja dengan baju yang berwarna hitam itu”
Aku meraba-raba barang di sekitarku untuk mencari alasan. Meski ia sahabatku;aku pikir tidak perlu tau tentang hal ini. Aku takut ia akan iba, sedangkan aku, demi Tuhan tidak akan mengemis perhatiaan, atau belas kasihan. Masa kecilku yang hinggap dahulu sudah cukup kuat untuk melatih mentalku, dan “Ya” aku cukup menyimpannya sendiri;mungkin bersama buku diary itu aku ingat selalu segala kenangan yang hampir rata-rata tentang kesialan.


Comments

Popular posts from this blog

Jenis-Jenis Novel

Tips-Tips Menulis Praktis Dengan Rumus (7W+1H)

Tips-tips Bagi Aktor Pemula Dalam Teater.

Hutan Pinus Mangli, Magelang