Dendam Part 6 ( Cerita Malam Hari)
“Hentikan, aku mohon hentikan semua ini” aku memohon dengan isak tangis yang tak henti-henti air mataku mengucur di pipi hingga membanjiri diriku sendiri.
Seolah aku berenang dalam airmataku, bening, hangat dan menyimpan
perasaan yang mendalam.
“Kamu itu hanya merepotkan orang, kamu tidak layak hidup” kata
wanita bertubuh tinggi dan berambut lurus itu mengataiku dengan sangat kasar,
bahkan seolah ingin meludah di wajahku
“Kamu tidak mengerti apa yang aku lakukan, kamu hanya mengetahui
sisi burukku saja” aku menjelaskan sedari tersedu-sedu menahan sakit yang luar
biasa, bukan sebuah sakit yang butuh rujukan ke rumah sakit, kemudian dirongtsen,
atau ct scan kemudian di duga-duga diagnosanya, dan disuntik,
kemudian dipasang infus yang kata dokter akan membuat lebih baik , jauh lebih
dari itu, tapi sebuah kepedihan hati yang laranya tiada terjelaskan.
Bahkan untuk sebuah pahitnya empedu itu tidak mampu mewakili.
“Hei Jalang, enyahlah, cepat, muak aku melihat wajahmu” lelaki
yang berada dipojokan ikut menyahut, bahkan mengataiku sebagai wanita jalang
dan tak segan menjambak rambutku dan melempar sekuat mungkin dirku. Tubuh ini
rasanya tak berdaya, hanya sukmaku yang hidup, ragaku telah tiada termakan luka
yang setiap harinya tiada berujung, yang sengaja aku samarkan melalui
senyumanku, bahkan aku mengenakan topeng, ya topeng, topeng yang berwajah
bahagia, rautnya senyum, tawanya tak terkendali, dan auranya sebahagia malam
pengantin baru, hampir saja aku lupa dengan kepedihanku.
“Dimana aku, dimana?” aku merintih mencoba berdiri tegak dari
pasir pantai yang ombaknya tiba-tiba semakin dekat seperti ingin melahapku
dengan segera. Aku mencoba berlari hingga aku tak sadar lutut kakiku
berdarah-darah karena beberapa kali terjatuh, dan terjatuh, ombak itu mengejar
teramat kencang, bahkan memaki-maki diriku sangat keras, hingga pada
akhirnya aku menemukan sesosok wanita di hadapanku.
“Siapa engkau? Kenapa wajahmu mirip sekali denganku?”
“Aku adalah kekuatanmu wahai gadis malang”
kata wanita yang memakai busana serba putih, hampir saja aku tak
percaya, hidungnya, mata bulatnya persis menyerupai wajahku. Bahkan
aku yakin tingginya sama denganku.
“Ti.. ti.. tidak, tidak, kekuatanku telah lenyap, aku lemah,
haruskah aku ceritakan bagaimana lemahnya aku, bahkan aku pikir aku telah mati” aku
mengatakan dengan terbata-bata, masih terasa letihnya sisa dikejar-kejar ombak
yang dengan sengaja ingin mencelakaiku, aku tidak menyangka akan hal itu, aku
pikir ombak itu akan bermain-main manis denganku, untung wanita yang
menyerupaiku segera tiba, jika tidak maka pastilah ombak itu akan mendatangiku,
kemudian aku akan menjadi santapan hangat bagi penghuni pantai itu.
Wanita itu mengatakan segalanya tentang diriku, bahkan ia aku
anggap sebagai bidadari, ia satu-satunya yang tidak memakiku dengan kasar,
bahkan ia memuji, mencium keningku. Meski akhirnya menghilang begitu saja tanpa
jejak.
“Siapa namanya?”
“Bagaimana bisa ia meninggalkan aku sendiri dalam keadaan terluka
di pesisir pantai ini?, apa mungkin dengan sengaja ia tidak mengatakan
namanya,karena ternyata dia seorang iblis, ya aku yakin, dia mungkin
iblis, iblis durjana yang sengaja berpura-pura menjadi malaikat
dihadapanku. Seketika datang, dan hilang begitu saja”
“Aaaaaaaaaaaaaaaa…..Tida..kkkkkkkkkkkkkkk “
~~~
“Ah tidak., Ya Tuhan mimpi macam apa ini?”
Ya Tuhan mungkin aku lupa berdo’a. Donita refleks beranjak dari
tidurnya, seperti-halnya sigap ketika maling datang. Aku menangis sejadi-jadinya mengingat mimpi yang baru saja hinggap
dalam tidurku. Layar besar menghadap mataku, aku dapat melihat ibuku, bapakku,
dan kedua saudaraku, ya aku tau bayangan itu. Bukan karena aku merindukannya,
ya mungkin rindu, namun sedikit saja. Tapi lebih dari itu. Rupanya kecemasan
ini tumbuh subur dalam ingatanku, bahkan mimpi itu seolah representasi dari
buah pikirku.
“Wahai dinding yang usang,
kalau saja kau memiliki hati, maka akan kuceritakan segalanya”
Donita bangkit dari ranjang birunya, ia memutuskan untuk keluar
kamar kemudian mengambil air wudhu, ia akan mengadukan segalanya pada yang Esa,
Donita pikir Tuhanlah yang paling mengerti, betapa besar kasihnya tak
tertandingi.
Dengan lugu Donita berdo’a, bulir-bulir di matanya mulai mengalir
deras menjelajah wajah beningnya hingga merata ke bagian bibirnya yang terus
mengucap asma-Nya menggigil penuh rasa salah. Dadanya menyesak bagaikan ruangan
yang tersisipi bom Molotov yang siap meledak kapan pun hingga Donita harus
waspada setiap saat.
Ingin ku dekap Kau jika Kau bertubuh
Sayangnya tidak !;
Maka cukup dengar do’aku;
Lihat kerancuan hidupku;
Aku tau ini permainanMu;
Dengan sengaja engkau memberi permainan yang sulit;
Hingga aku harus tergopoh-gopoh menyiasatinya;
Kau ingin tau sekuat apa diriku;
Maka lakukanlah !
Jika aku menang, kau akan bersiap sedia menaikkan levelku;
Dan menjadi hamba terkasihMU.
Jikalau perasaan Donita tergambarkan, maka mungkin
puisi itulah gambaran yang tepat, bukan ia menentang pembuat alam semesta dan
seisinya, hanya saja memang kadang kekuatan pada dirinya retak, dan sulit untuk
dikaitkan lagi menjadi kekuatan yang sempurna. Tapi ia ingat persis sebelum
wanita yang menyerupai dirinya pergi begitu saja, wanita itu mengatakan, ia
mengatakan bahwa kekuatan sebenarnya adalah dalam diri sendiri, tidak yang
lainnya, kecuali Tuhan.
Malam ini semakin mencekam, anjing tetangga yang letaknya persis
seberang kosanku tidak henti-hentinya mengonggong, ayam-ayam berkokok sebelum
waktunya, mungkinkah mereka menerima kedatangan seorang tamu. Ibuku pernah
menceritakan padaku, jikalau terdapat ayam-ayam berkokok dimalam hari, katanya
iblis yang sangat kejam datang disekitaran tempat yang kamu dengar. Aku
sesegera kembali meneruskan tidurku, dengan rapat aku menutup semua bagian
tubuhku dengan selimut, aku merinding mengingat cerita ibuku, jika memang benar
itu faktanya maka iblis itu akan segera mengintipku dari balik tirai jendela
yang mulai pudar warnanya.
Comments
Post a Comment